Senin, 02 Maret 2015

DIPLOMASI TINGKAT TINGGI



Summit
Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Singapura                       ( Studi Kasus : Masalah Perbatasan Laut Indonesia – Singapura tahun 2009 )


DIPLOMASI TINGKAT TINGGI
Kegiatan diplomasi berkaitan erat dengan pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dalam hubunganya dengan negara lain karena diplomasi merupakan suatu tahapan dalam menjalankan politk luar negeri suatu negara. Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus kita ketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “Action Theory atau kebijaksanaan suatu Negara yang ditujukan ke Negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu.
 Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya, diplomasi merupakan salah satu aspek paling penting bagi aktor hubungan internasional dalam mencapai kepentingannya. Apabila ditelusuri lebih detil, maka setiap diplomasi memiliki beberapa pola berbeda antara satu dengan yang lain yang masing-masing polanya memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, tidak terkecuali Diplomasi Tingkat Tinggi.
Diplomasi Tingkat Tinggi (Summit) menurut USLegal (n.d.)[1] yaitu salah satu jenis diplomasi konferensi yang digunakan oleh pemerintah internasional dimana kepala negara bertemu tatap muka untuk bernegosiasi secara langsung. Adapun kelebihan dari Diplomasi ini adalah kuatnya legitimasi dalam kebijakan yang dihasilkan dan kecilnya kemungkinan setiap negara untuk melakukan kecurangan. Sedangkan, kekurangan dari pola diplomasi tingkat tinggi yakni prosesnya yang berjalan lambat diakibatkan banyaknya negara-negara besar yang terlibat dalam proses ini.
Sebagai contoh kasus penulis mengangkat masalah perbatasan Laut Indonesia – Singapura yang terjadi pada tahun 2009. Untuk memperkuat analisis maka penulis menggunakan Teori Teori Model Pembuatan Keputusan Luar Negeri Graham T. Allison, dengan Model Rasional, Organisasi dan Politik Birokrasi, Teori Internal – Eksternal Setting. Adapun Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder saja yang menjadi sumber utama yang mana data sekunder yang dimaksud adalah berupa buku, perundang-undangan, artikel, berita ataupun majalah yang berkaitan dengan persoalan perbatasan laut RI-Singapura.

Masalah Perbatasan Laut Indonesia – Singapura pada tahun 2009.
Kesepakatan garis batas laut di bagian Barat Selat Singapura tahun 2009 yang masih menimbulkan kesalahpahaman dikalangan masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa kebijakan luar negeri Indonesia mengenai persoalan perbatasan laut dengan negara Singapura akan merugikan negara Indonesia sendiri. Hal ini disebabkan kebijakan nasional Singapura mengenai perluasan wilayah negaranya yang sering disebut reklamasi pantai Singapura, akan merubah garis pantai Singapura yang akan memengaruhi wilayah laut Indonesia dan mengancam wilayah kedaulatan NKRI.
Untuk itu, agar tidak mempengaruhi kedaulatan garis laut wilayah Indonesia maka orientasi politik luar negeri Indonesia terhadap Singapura harus dipertegas dalam kasus ini. Hal itu terlihat dengan dilaksanakannya perundingan sebanyak delapan kali yang dilakukan oleh Menlu bersama Tim Perunding, yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri dan Polhukam sebagai kordinator tim, Kementerian Pertahanan, Markas Besar TNI, Markas Besar TNI-AL, Dinas Hidrografi TNI-AL, dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Indonesia yang dimulai sejak tahun 2005.
Perundingan ini lebih menitikberatkan pada faktor internal, yaitu mengingat posisi geografis Indonesia yang berdasarkan wawasan nusantara dan merupakan negara kepulauan, desakan dari masyarakat Indonesia, kurangnya ketegasan hukum dalam hal perbatasan, berdasarkan UNCLOS 1982 dimana kegiatan reklamasi pantai yang dilakukan Singapura tidak akan memengaruhi luas wilayah laut Indonesia, dan demi kepentingan Indonesia dalam berbagai hal di Selat Singapura. Hasil dari kesepakatan ini mulai berlaku sejak di ratifikasinya perjanjian kedua ini ke dalam UU Nomor 4 Tahun 2010 pada 22 Juni 2010. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa penetapan garis batas laut di bagian Barat Selat Singapura Tahun 2009, lebih menguntungkan pihak Indonesia.
Pada hari selasa tanggal 10 Maret 2009.  Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yoe di Jakarta menandatangani naskah perjanjian tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian barat Selat Singapura tersebut.  Maka, masalah Batas laut antara Indonesia dengan Singapuran yang selama ini diperdebatkan kedua negara telah terselesaikan. Batas laut wilayah yang disepakati dalam perjanjian tersebut adalah kelanjutan dari garis batas laut wilayah yang telah disepakati sebelumnya pada perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah yang ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973.
Penentuan garis batas laut wilayah Indonesia dan Singapura ditetapkan berdasarkan hukum internasional yang mengatur tata cara penetapan batas maritim yakni Konvensi Hukum Laut (Konvensi Hukla) 1982, dimana kedua Negara adalah Pihak pada Konvensi. Dalam menentukan garis batas laut wilayah ini, Indonesia menggunakan referensi titik dasar (basepoint) Indonesia di Pulau Nipa serta garis pangkal kepulauan Indonesia (archipelagic baseline) yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Besar. Garis pangkal ini adalah garis negara pangkal kepulauan yang dicantumkan dalam UU 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia dan diperbaharui dengan PP 38/2002 dan PP 37/2008.
Dengan selesainya perjanjian batas laut wilayah pada segmen barat (Tuas - P. Nipa) ini, maka masih terdapat segmen timur 1 dan timur 2 yang perlu dirundingkan. Segmen timur 1 adalah di wilayah Batam - Changi dan segmen timur 2 adalah wilayah sekitar Bintan-South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca yang masih menunggu hasil negosiasi lebih lanjut antara Singapura - Malaysia pasca keputusan ICJ. Selain itu, bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan yang belum terselesaikan. Jangan sampai Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar dalam menyelesaikan masalah perbatasan wilayah Indonesia. Sehingga, Bangsa Indonesia berhasil mempertahankan wilayah perbatasan Indonesia yang menjadi hak beserta kedaulatan Bangsa Indonesia.

Kesimpulan
Di sebelah utara Pulau Karimun Besar dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Untuk penyelesiannya dilakukan Negosiasi antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah kesepakatan bahwa Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa penetapan garis batas laut di bagian Barat Selat Singapura Tahun 2009, lebih menguntungkan pihak Indonesia.

Referensi:
Buku;
Perwita, Agung Banyu dan Yani Yanyan Mochammad. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Internet;
USLegal. (n.d.). Summit Diplomacy Law & Legal Definition (Online). Tersedia dalam: [http://definitions.uslegal.com/s/summit-diplomacy/
www.endonesia.com/Indonesia-Singapura-Teken-Perjanjian-Batas-Laut.html
www.primaironline.com/Banyak-Perjanjian-Batas-Wilayah-RI-Tidak-Selesai.html
www.umm.ac.id/Penandatanganan perjanjian perbatasan maritim wilayah barat Indonesia dengan Sin.html


[1] USLegal. (n.d.). Summit Diplomacy Law & Legal Definition (Online). Tersedia dalam: [http://definitions.uslegal.com/s/summit-diplomacy/. Diakses pada 20 November 2014. Pukul 12.37 WITA.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar