Summit
Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Singapura ( Studi Kasus : Masalah Perbatasan Laut
Indonesia – Singapura tahun 2009 )
DIPLOMASI
TINGKAT TINGGI
Kegiatan diplomasi berkaitan erat
dengan pelaksanaan politik luar negeri suatu negara
dalam hubunganya dengan negara lain karena diplomasi merupakan suatu tahapan
dalam menjalankan politk luar negeri suatu negara. Dalam mempelajari politik
luar negeri, pengertian dasar yang harus kita ketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya
merupakan “Action Theory” atau
kebijaksanaan suatu Negara yang ditujukan ke Negara lain untuk mencapai suatu
kepentingan tertentu.
Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya,
diplomasi merupakan salah satu aspek paling penting bagi aktor hubungan
internasional dalam mencapai kepentingannya. Apabila ditelusuri lebih detil,
maka setiap diplomasi memiliki beberapa
pola berbeda antara satu dengan yang lain yang masing-masing polanya memiliki
kelebihan dan kekurangan tersendiri, tidak terkecuali Diplomasi Tingkat Tinggi.
Diplomasi
Tingkat Tinggi (Summit) menurut USLegal (n.d.)[1]
yaitu salah satu jenis diplomasi konferensi yang digunakan oleh pemerintah
internasional dimana kepala negara bertemu tatap muka untuk bernegosiasi secara
langsung. Adapun kelebihan dari
Diplomasi ini adalah kuatnya legitimasi dalam kebijakan yang dihasilkan dan
kecilnya kemungkinan setiap negara untuk melakukan kecurangan. Sedangkan,
kekurangan dari pola diplomasi tingkat tinggi yakni prosesnya yang berjalan
lambat diakibatkan banyaknya negara-negara besar yang terlibat dalam proses ini.
Sebagai contoh kasus penulis
mengangkat masalah perbatasan Laut Indonesia – Singapura yang terjadi pada
tahun 2009. Untuk memperkuat analisis maka penulis menggunakan
Teori Teori Model Pembuatan Keputusan
Luar Negeri Graham T. Allison, dengan Model Rasional, Organisasi dan Politik
Birokrasi, Teori Internal – Eksternal Setting. Adapun Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini menggunakan data
sekunder saja yang menjadi sumber utama yang mana data sekunder yang dimaksud
adalah berupa buku, perundang-undangan,
artikel, berita ataupun majalah yang berkaitan dengan persoalan perbatasan laut
RI-Singapura.
Masalah
Perbatasan Laut Indonesia – Singapura pada tahun 2009.
Kesepakatan
garis batas laut di bagian Barat Selat
Singapura tahun 2009 yang masih menimbulkan kesalahpahaman dikalangan
masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa kebijakan luar negeri Indonesia
mengenai persoalan perbatasan laut dengan negara Singapura akan merugikan
negara Indonesia sendiri. Hal ini disebabkan kebijakan nasional Singapura
mengenai perluasan wilayah negaranya yang sering disebut reklamasi pantai Singapura, akan merubah garis pantai Singapura
yang akan memengaruhi wilayah laut Indonesia dan mengancam wilayah kedaulatan
NKRI.
Untuk itu, agar
tidak mempengaruhi kedaulatan garis laut wilayah Indonesia maka orientasi
politik luar negeri Indonesia terhadap Singapura harus dipertegas dalam kasus ini. Hal itu terlihat dengan dilaksanakannya perundingan sebanyak
delapan kali yang dilakukan oleh Menlu bersama Tim Perunding, yang terdiri dari
Kementerian Luar Negeri dan Polhukam sebagai kordinator tim, Kementerian
Pertahanan, Markas Besar TNI, Markas Besar TNI-AL, Dinas Hidrografi TNI-AL, dan
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Indonesia yang dimulai sejak
tahun 2005.
Perundingan ini lebih menitikberatkan pada faktor internal, yaitu mengingat posisi
geografis Indonesia yang berdasarkan wawasan
nusantara dan merupakan negara kepulauan, desakan dari masyarakat
Indonesia, kurangnya ketegasan hukum dalam hal perbatasan, berdasarkan UNCLOS 1982 dimana kegiatan reklamasi pantai yang
dilakukan Singapura tidak akan
memengaruhi luas wilayah laut Indonesia, dan demi kepentingan Indonesia dalam
berbagai hal di Selat Singapura. Hasil
dari kesepakatan ini mulai berlaku sejak di ratifikasinya perjanjian kedua ini
ke dalam UU Nomor 4 Tahun 2010 pada 22 Juni 2010. Dari hasil tersebut
ditemukan bahwa penetapan garis batas laut di bagian Barat Selat Singapura
Tahun 2009, lebih menguntungkan pihak
Indonesia.
Pada
hari selasa tanggal 10 Maret 2009. Menteri Luar Negeri
Hassan Wirajuda dan Menteri Luar
Negeri Singapura George Yoe di Jakarta
menandatangani naskah perjanjian tentang penetapan garis batas laut wilayah
kedua negara di bagian barat Selat Singapura tersebut. Maka, masalah Batas laut antara Indonesia
dengan Singapuran yang selama ini diperdebatkan kedua negara telah
terselesaikan. Batas laut wilayah yang disepakati dalam perjanjian tersebut
adalah kelanjutan dari garis batas laut
wilayah yang telah disepakati sebelumnya pada perjanjian antara Republik
Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah
yang ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973.
Penentuan garis batas laut wilayah Indonesia dan
Singapura ditetapkan berdasarkan hukum
internasional yang mengatur tata cara penetapan
batas maritim yakni Konvensi Hukum Laut (Konvensi Hukla) 1982, dimana kedua Negara adalah Pihak pada
Konvensi. Dalam menentukan garis batas
laut wilayah ini, Indonesia menggunakan referensi titik dasar (basepoint)
Indonesia di Pulau Nipa serta garis pangkal kepulauan Indonesia (archipelagic
baseline) yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun Besar. Garis pangkal
ini adalah garis negara pangkal kepulauan yang dicantumkan dalam UU 4/Prp/1960
tentang Perairan Indonesia dan diperbaharui dengan PP 38/2002 dan PP 37/2008.
Dengan selesainya perjanjian batas laut wilayah pada
segmen barat (Tuas - P. Nipa) ini, maka masih terdapat segmen timur 1 dan timur 2 yang perlu dirundingkan. Segmen timur 1
adalah di wilayah Batam - Changi dan segmen timur 2 adalah wilayah sekitar
Bintan-South Ledge/Middle Rock/Pedra Branca yang masih menunggu hasil
negosiasi lebih lanjut antara Singapura - Malaysia pasca keputusan ICJ. Selain
itu, bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran untuk menyelesaikan
masalah-masalah perbatasan yang belum terselesaikan. Jangan sampai Indonesia
mengalami kerugian yang sangat besar dalam menyelesaikan masalah perbatasan
wilayah Indonesia. Sehingga, Bangsa Indonesia berhasil mempertahankan wilayah
perbatasan Indonesia yang menjadi hak beserta kedaulatan Bangsa Indonesia.
Kesimpulan
Di sebelah utara Pulau Karimun Besar
dan Pulau Bintan merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia,
Singapura dan Malaysia. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas
laut. Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi
pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke
arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura
telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas.
Untuk penyelesiannya dilakukan Negosiasi
antara kedua belah pihak yang dilakukan sejak tahun 2005 akhirnya berbuah
kesepakatan bahwa Batas laut yang
ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer.
Kesepakatan ini mulai berlaku tertanggal 30 Agustus 2010. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa penetapan garis
batas laut di bagian Barat Selat Singapura Tahun 2009, lebih menguntungkan
pihak Indonesia.
Referensi:
Buku;
Perwita,
Agung Banyu dan Yani Yanyan Mochammad. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Internet;
USLegal.
(n.d.). Summit Diplomacy Law & Legal Definition (Online). Tersedia dalam:
[http://definitions.uslegal.com/s/summit-diplomacy/
www.endonesia.com/Indonesia-Singapura-Teken-Perjanjian-Batas-Laut.html
www.primaironline.com/Banyak-Perjanjian-Batas-Wilayah-RI-Tidak-Selesai.html
www.umm.ac.id/Penandatanganan
perjanjian perbatasan maritim wilayah barat Indonesia dengan Sin.html
[1] USLegal. (n.d.). Summit Diplomacy Law & Legal Definition
(Online). Tersedia dalam: [http://definitions.uslegal.com/s/summit-diplomacy/. Diakses pada 20 November 2014.
Pukul 12.37 WITA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar