Kajian
Gender
Kajian
dan Gerakan Perumpuan di Indonesia, Asia, dan Global
Membahas
sejarah dan perkembangan terkini kajian perempuan dan gerakan perempuan untuk
keadilan gender di Indonesia, di belahan Asia dan di dunia internasional.
Menelaah berbagai asosiasi dan aktivis beserta isu-isu yang diperjuangkan dan
terus berkembang. Melihat kesamaan dan keunikan karakteristik yang ditampilkan
kelompok-kelompok berbeda sebagai pembelajaran kedepan.
Amir
1210521017
Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial
Universitas Fajar
2014/2015
GENDER
Studi
Hubungan Internasional lazimnya hanya berkaitan dengan hubungan antar negara
beserta unsur pendukung adanya hubungan antar negara itu sendiri, yakni
kedaulatan, otonomi, perang, interest, power, dan banyak lagi. Jika dikaji
lebih lanjut, keseluruhan unsur-unsur tersebut merupakan lambang dari
maskulinitas, dimana sejatinya seorang laki-laki identik dengan rasionalitas,
kekerasan, dominasi, dan lain-lain. Tidak sedikitpun terdapat unsur feminitas
di dalamnya. Pada abad ke-20 pun kajian dalam Hubungan Internasional tidak
menyangkut pautkan feminitas dan maskulinitas, karena hanya berfokus pada
sebab-sebab terjadinya perang dan adanya konflik, bagaimana tata cara
berdiplomasi, hukum internasional, dan terutama perdagangan yang saat ini
menjadi alat perluasan globalisasi.
Menurut Rebecca Grant, teori feminis
berkembang berdampingan dengan teori HI pada abad ke-20 sejak berakhirnya
Perang Dunia I dan khususnya keberhasilan gerakan untuk menuntut hak pilih bagi
perempuan di Inggris dan Amerika Serikat (Grant, 1992)[1].
Namun pada umumnya feminisme dianggap sebagai isu baru dan provokatif dalam
teori dan praktek nyata pada hubungan internasional. Teori feminis sebenarnya
merupakan upaya untuk mengkritisi studi yang menganggap bahwa laki-laki adalah
aktor utama dan dominan. Upaya-upaya tersebut kemudian diwujudkan dengan cara
melakukan transformasi atas tekanan struktural yang telah ada melalui
penjabaran mengenai perjuangan kaum perempuan terhadap tekanan yang selama ini
mereka peroleh.
Ketika
feminisme telah terlibat dalam Hubungan Internasional, maka perihal yang
terkait dengan maskulinitas mulai berubah, dalam artian tidak hanya laki-laki
saja yang berperan penting melainkan juga kaum perempuan. Feminisme yang saat
ini mulai berkiprah dalam hubungan internasional merupakan bagian dari ‘Warisan
Pencerahan Eropa’ dan sebagai imbas dari adanya upaya universalisasi
emansipasi, kebenaran, dan rasionalitas, meskipun hal tersebut dianggap sebagai
suatu bentuk perlawanan (Spivak, 1992)[2].
Sandra Whitworth dan Catherine
Hoskyns mengamati adanya perubahan mengenai relasi gender, yakni persamaan
perempuan dan laki-laki dalam lingkup pekerjaan. Dan Maria Mies menggambarkan
secara jelas bahwa perempuan memiliki persamaan dengan negara jajahan dan
sumber daya alam, dimana eksploitasi sistematis dilakukan atas ketiganya
sebagai sumber yang dapat dihabiskan oleh laki-laki dan negara kapitalis Dunia
Pertama (Mies, 1986). Masuknya gender dan feminisme dalam ranah hubungan
internasional tidak dapat dikesampingkan begitu saja, sebab kedua hal tersebut
mempengaruhi pandangan tentang negara. Kaum realis dan liberal menganggap bahwa
laki-laki dan negara adalah eksklusif satu sama lain dan mandiri, namun pada
kenyataannya politik kekuasaan telah tergenderkan hingga membentuk sebagian
pemahaman bahwa politik dunia bergantung pada aktor politik rasional laki-laki
dan dikeluarkannya perempuan (True, 2001). Sedangkan disisi lain, menurut para
analis feminis, ‘negara yang baik’ dan masyarakat internasional harus mengakui
hak asasi perempuan dalam berbagai konteks, termasuk dalam konteks hubungan
diplomatik antar negara hingga konteks pasar bebas dalam perdagangan
internasional.
GENDER DI INDONESIA
Perkembangan gerakan feminisme juga
terasa di Indonesia dengan diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7
tahun 1984. Setelah itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang nomor
23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan
undang-undang perlindungan anak. Selain itu, mereka juga berusaha melakukan
legalisasi aborsi melalui amandemen UU kesehatan. Dalam bidang politik, feminis
berada di belakang keluarnya UU pemilu tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan
sebanyak 30 persen.
Undang-Undang Dasar 1945 yang
menjamin semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka
hukum, menjadi acuan pokok bagi pergerakan wanita untuk memperbaiki nasib dan
meningkatkan kedudukannya. Organisasi-organisasi wanita sedari dulu telah
mempersoalkan nasib wanita dalam keluarga dengan adanya poligami dan perlakuan
sewenang-wenang oleh suami. Organisasi-organisasi wanita secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama melalui KOWANI mengadakan desakan kepada pemerintah agar
membentuk undang-undang perkawinan itu. KOWANI sejak tahun 1930-an mengemukakan
pentingnya undang-undang perkawinan yang lebih menjamin kesejahteraan keluarga.
Ini juga dilakukan oleh Musyawarah Nasional untuk pekerjaan sosial tahun 1960,
oleh Musyawarah Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1960, oleh Konferensi
Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4) Pusat tahun 1962
dan oleh Seminar Hukum Nasional tahun 1993. Setelah diperjuangkan
bertahun-tahun di DPR, baru Undang-undang Perkawinan dapat disahkan pada akhir
tahun 1973 dan menjadi UUP No. 1 tahun 1974. Kendati demikian, masih banyak
terjadi perlakuan oleh suami yang menyebabkan penderitaan istri. Menurut hasil
penelitian, masih terjadi diskriminasi terhadap wanita di segala bidang
kehidupan, terutama dalam keluarga.
Gerakan wanita juga mencakup
yayasan-yayasan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang mempunyai
kegiatan tertentu yang terbatas, misalnya perbaikan nasib buruh wanita atau
khusus mengadakan publikasi dan dokumentasi mengenai wanita. Tujuan mereka juga
meningkatkan kedudukan wanita dan menghilangkan diskriminasi dan mereka
mempunyai keyakinan bahwa tujuan lebih mudah tercapai dalam kelompok kecil di
mana peminatnya mempunyai hubungan yang akrab, tidak bnyak birokrasi, serta
adanya pembagian pekerjaan yang luwes. Selain itu kegiatan mereka terutama di
tingkat masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh proyek-proyek pembangunan
pemerintah.
Gerakan wanita juga menjelma dalam
pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum untuk wanita dan keluarga yang ada di
berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian, gerakan wanita adalah salah satu
usaha untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat dunia dan di
Indonesia khususnya didukung oleh pria dan wanita dari berbagai generasi, oleh
pergruruan tinggi, lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta, bahkan oleh dunia
internasional.
GENDER DI ASIA (INDIA)
Laporan-laporan Mutakhir di India
memperlihatkan bahwa banyak politisi perempuan mengalami kesulitan untuk
berpartisipasi dalam dunia politik, apalagi hendak menyamakan jurang gender
yang ada, dan ini menunjukkan perlunya peningkatan analisa peran yang dimainkan
perempuan dalam perpolitikan India. Hal ini didukung oleh pemilihan baru-baru
ini.
India menganut demokrasi parlementer
dua kamar dengan sistem politik multipartai yang kuat. Majelis rendah disebut
Lok Sabha (majelis rakyat) beranggotakan 545 orang. Majelis tinggi disebut
Rajya Sabha (majelis Negara bagian) dengan anggota 250 orang. Wakil perempuan
pada tahun 1991 sebanyak 5,2 persen dari seluruh anggota Lok Sabha dan 9,8
persen dari seluruh anggota Rajya Sabha[3].
Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya
(1989). Hasil pemilihan umum tahun 1996 memperlihatkan kemunduran yang jauh
dalam hal representasi perempuan, tapi pada pemilihan tahun 1999, 8,8 persen
dari anggota parlemen adalah perempuan. Kecenderungan yang demikian cukup
mencemaskan seperti ditampilkan oleh prakarsa negara baru-baru ini untuk
menjamin representasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik.
Wakil 39 perempuan dalam Parlemen
India periode 1991-1996 sebagian besar berasal dari kalangan kelas menengah,
perempuan profesional, yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak mempunyai
hubungan dengan gerakan-gerakan perempuan. Sebagian besar di antara mereka
memasuki dunia politik lewat hubungan keluarga, sebagian melalui
gerakan-gerakan mahasiswa dan ornop, serta sebagian lagi merupakan hasil
prakarsa negara yang bertujuan meningkatkan representasi kasta-kasta yang lebih
rendah.
Kasta merupakan ciri terpenting
dalam kehidupan publik dan politik India. Sebagian besar anggota parlemen
perempuan dalam Parlemen X adalah anggota-anggota kasta yang lebih tinggi.
Misalnya, ada enam perempuan dari kasta Brahmana. Ini mewakili 17,14 persen
anggota parlemen perempuan, angka yang cukup lumayan, sementara kasta Brahmana
hanya 5,52 persen dari jumlah seluruh penduduk. Namun, penting untuk menjaga
pembuatan korelasi yang sederhana antara kasta dengan representasi politik.
Misalnya, dari enam perempuan kasta Brahmana anggota parlemen, dua di antaranya
dari Partai Komunis India. Dalam kasus itu, faktor kasta kurang penting
ketimbang latar belakang istimewa kelas mereka. Lebih jauh, keduanya adalah
produk dari pergerakan politik, perjuangan nasional dan gerakan anti-keadaan
darurat.
Dari 39 anggota parlemen perempuan
Lok Sabha 1991–1996, 36 orang
berpendidikan pasca-sarjana;
dalam Rajya Sabha 14 dari 17 perempuan adalah sarjana. Posisi kelas
perempuan-perempuan ini jelas lebih penting dengan tingkat pendidikan mereka
ketimbang kasta. Hanya satu dari tujuh anggota parlemen perempuan yang berasal
dari kasta lebih rendah yang bukan sarjana, dan seorang perempuan anggota
parlemen dari kasta yang terdaftar dalam Rajya Sabha berpendidikan
pasca-sarjana. Tingkat pendidikan juga tercermin dalam profil profesional
perempuan-perempuan ini. Dari anggota parlemen perempuan di Rajya Sabha,
misalnya, 30 persen adalah pengacara, dan 25 persen di Lok Sabha adalah guru
atau dosen.
Sangatlah mengherankan, partisipasi
aktif dalam gerakan-gerakan perempuan tidak menjadi salah satu jalur masuk ke
dalam partai-partai politik formal oleh anggota parlemen perempuan. Bersama
dengan “jalinan kekeluargaan” dan prakarsa negara, faktor penting lain menjepit
akses kehidupan politik perempuan tampaknya adalah gerakangerakan sosial dan
politik. Gerakan-gerakan ini telah menciptakan jendela peluang dan beberapa
perempuan dapat memanfaatkannya untuk akses kehidupan politik.
Misalnya, gerakan nasional adalah
mobilisator penting para perempuan. Sumbangan Gandhi yang mengangkat perempuan
untuk masuk ke dalam kancah politik sangat tertanam; gerakan kiri juga memobilisasi
perempuan.[4]
Organisasi-organisasi perempuan dibentuk di bawah payung dan pengawasan partai
– Kongres Mahila dan Federasi Seluruh Perempuan India (All India Women’s Federation atau CPI). Namun, tidak satu pun
perempuan yang diwawancarai untuk survei ini mempunyai hubungan kuat dengan
sayap partai mereka menjelang mereka masuk ke dalam politik parlementer.
GENDER DI DUNIA INTERNASIONAL
(Christine Lagarde)
Christine
Lagarde Managing Director, IMF Lahir di
Paris pada tahun 1956, Christine Lagarde menyelesaikan SMA di Le Havre dan
dihadiri Holton Senjata Sekolah di Bethesda (Maryland, USA). Dia kemudian lulus
dari sekolah hukum di Universitas Paris X, dan memperoleh gelar Master dari
Ilmu Politik Institute di Aix en Provence. Setelah dirawat sebagai pengacara ke
Paris Bar, Christine Lagarde bergabung dengan firma hukum internasional Baker
& McKenzie sebagai asosiasi, yang mengkhususkan diri dalam Tenaga Kerja,
Anti-trust, dan Merger & Akuisisi. Seorang anggota Komite Eksekutif Kantor
tahun 1995, Christine Lagarde menjadi Ketua Komite Eksekutif Global Baker &
McKenzie pada tahun 1999, dan kemudian Ketua Komite Strategis global pada tahun
2004.
Christine Lagarde bergabung dengan pemerintah
Perancis pada bulan Juni 2005 sebagai Menteri Perdagangan Luar Negeri. Setelah
yang singkat sebagai Menteri Pertanian dan Perikanan, pada bulan Juni 2007 ia
menjadi wanita pertama yang memegang jabatan Menteri negara G-7 Keuangan dan
Ekonomi. Dari Juli sampai Desember 2008, dia juga memimpin ECOFIN Dewan, yang
menyatukan Ekonomi dan Menteri Keuangan Uni Eropa.
Sebagai anggota G-20, Christine
Lagarde terlibat dalam manajemen Grup dari krisis keuangan, membantu untuk
mendorong kebijakan internasional yang berkaitan dengan pengawasan keuangan dan
regulasi dan memperkuat tata kelola ekonomi global. Sebagai Ketua G-20 ketika
Perancis mengambil alih kepresidenan untuk tahun 2011, ia meluncurkan agenda
kerja yang luas pada reformasi sistem moneter internasional.
Pada bulan Juli 2011, Christine
Lagarde menjadi kesebelas Managing Director IMF, dan wanita pertama yang
memegang posisi itu. Christine Lagarde bernama Officier di Legio d'honneur pada
bulan April 2012. Seorang mantan anggota tim nasional Perancis untuk berenang
disinkronkan, Christine Lagarde adalah ibu dari dua anak laki-laki.[5]
REFERENSI
Grant,
R. 1992. The Quagmire of Gender and
International Security’, dalam V.S. Peterson (Ed.).Boulder: Gendered States.
Spivak,
G. 1992. French Feminism Revisited:
Ethnics and Politics’, dalam J. Scott dan J. Butler, eds., Feminist Theorize
the Political. New York.
Swarup,
H.L., Niroj Sinha, Chitra Ghosh, dan Pam Rajput. 1994. “Women’s Political Engagement in India”, dalam B. Nelson dan N. Chowdhury, red. Women and Politics Worldwide.
New Haven: Yale University Press.
Chattopadhyaya,
K. 1983. Indian Women’s Battle for Freedom. New Delhi: Abhinav Press; Joshi, P.
1989. Gandhi on Women. New Delhi: Navjivan Press.
http://www.imf.org/external/np/omd/bios/cl.htm.
Diakses tanggal 11 November 2014, Pukul 14.46 WITA
[1] R.Grant, ‘The Quagmire of Gender
and International Security’, dalam V.S. Peterson (Ed.), Gendered States
(Boulder: 1992), hal. 86
[2] G. Spivak, ‘French Feminism
Revisited: Ethnics and Politics’, dalam J. Scott dan J. Butler, eds., Feminist
Theorize the Political (New York: 1992), hal. 57.
[3] Swarup, H.L., Niroj Sinha,
Chitra Ghosh, dan Pam Rajput. 1994. “Women’s Political Engagement in India”,
dalam B. Nelson dan N. Chowdhury, red. Women and Politics Worldwide. New Haven:
Yale University Press. Hal. 362.
[4] Chattopadhyaya, K. 1983. Indian
Women’s Battle for Freedom. New Delhi: Abhinav Press; Joshi, P. 1989. Gandhi on
Women. New Delhi: Navjivan Press.
[5]
http://www.imf.org/external/np/omd/bios/cl.htm. Diakses tanggal 11 November
2014, Pukul 14.46 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar