Senin, 02 Maret 2015

Kajian dan Gerakan Perumpuan di Indonesia, Asia, dan Global



Kajian Gender
Kajian dan Gerakan Perumpuan di Indonesia, Asia, dan Global

Membahas sejarah dan perkembangan terkini kajian perempuan dan gerakan perempuan untuk keadilan gender di Indonesia, di belahan Asia dan di dunia internasional. Menelaah berbagai asosiasi dan aktivis beserta isu-isu yang diperjuangkan dan terus berkembang. Melihat kesamaan dan keunikan karakteristik yang ditampilkan kelompok-kelompok berbeda sebagai pembelajaran kedepan.





















Amir                                                       1210521017                 
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional                                                                                    Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial                                                                                       Universitas Fajar                                                                                                               2014/2015                                                                                                    



GENDER
Studi Hubungan Internasional lazimnya hanya berkaitan dengan hubungan antar negara beserta unsur pendukung adanya hubungan antar negara itu sendiri, yakni kedaulatan, otonomi, perang, interest, power, dan banyak lagi. Jika dikaji lebih lanjut, keseluruhan unsur-unsur tersebut merupakan lambang dari maskulinitas, dimana sejatinya seorang laki-laki identik dengan rasionalitas, kekerasan, dominasi, dan lain-lain. Tidak sedikitpun terdapat unsur feminitas di dalamnya. Pada abad ke-20 pun kajian dalam Hubungan Internasional tidak menyangkut pautkan feminitas dan maskulinitas, karena hanya berfokus pada sebab-sebab terjadinya perang dan adanya konflik, bagaimana tata cara berdiplomasi, hukum internasional, dan terutama perdagangan yang saat ini menjadi alat perluasan globalisasi.
Menurut Rebecca Grant, teori feminis berkembang berdampingan dengan teori HI pada abad ke-20 sejak berakhirnya Perang Dunia I dan khususnya keberhasilan gerakan untuk menuntut hak pilih bagi perempuan di Inggris dan Amerika Serikat (Grant, 1992)[1]. Namun pada umumnya feminisme dianggap sebagai isu baru dan provokatif dalam teori dan praktek nyata pada hubungan internasional. Teori feminis sebenarnya merupakan upaya untuk mengkritisi studi yang menganggap bahwa laki-laki adalah aktor utama dan dominan. Upaya-upaya tersebut kemudian diwujudkan dengan cara melakukan transformasi atas tekanan struktural yang telah ada melalui penjabaran mengenai perjuangan kaum perempuan terhadap tekanan yang selama ini mereka peroleh.
Ketika feminisme telah terlibat dalam Hubungan Internasional, maka perihal yang terkait dengan maskulinitas mulai berubah, dalam artian tidak hanya laki-laki saja yang berperan penting melainkan juga kaum perempuan. Feminisme yang saat ini mulai berkiprah dalam hubungan internasional merupakan bagian dari ‘Warisan Pencerahan Eropa’ dan sebagai imbas dari adanya upaya universalisasi emansipasi, kebenaran, dan rasionalitas, meskipun hal tersebut dianggap sebagai suatu bentuk perlawanan (Spivak, 1992)[2].
Sandra Whitworth dan Catherine Hoskyns mengamati adanya perubahan mengenai relasi gender, yakni persamaan perempuan dan laki-laki dalam lingkup pekerjaan. Dan Maria Mies menggambarkan secara jelas bahwa perempuan memiliki persamaan dengan negara jajahan dan sumber daya alam, dimana eksploitasi sistematis dilakukan atas ketiganya sebagai sumber yang dapat dihabiskan oleh laki-laki dan negara kapitalis Dunia Pertama (Mies, 1986). Masuknya gender dan feminisme dalam ranah hubungan internasional tidak dapat dikesampingkan begitu saja, sebab kedua hal tersebut mempengaruhi pandangan tentang negara. Kaum realis dan liberal menganggap bahwa laki-laki dan negara adalah eksklusif satu sama lain dan mandiri, namun pada kenyataannya politik kekuasaan telah tergenderkan hingga membentuk sebagian pemahaman bahwa politik dunia bergantung pada aktor politik rasional laki-laki dan dikeluarkannya perempuan (True, 2001). Sedangkan disisi lain, menurut para analis feminis, ‘negara yang baik’ dan masyarakat internasional harus mengakui hak asasi perempuan dalam berbagai konteks, termasuk dalam konteks hubungan diplomatik antar negara hingga konteks pasar bebas dalam perdagangan internasional.

GENDER DI INDONESIA
Perkembangan gerakan feminisme juga terasa di Indonesia dengan diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Setelah itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan undang-undang perlindungan anak. Selain itu, mereka juga berusaha melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada di belakang keluarnya UU pemilu tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hukum, menjadi acuan pokok bagi pergerakan wanita untuk memperbaiki nasib dan meningkatkan kedudukannya. Organisasi-organisasi wanita sedari dulu telah mempersoalkan nasib wanita dalam keluarga dengan adanya poligami dan perlakuan sewenang-wenang oleh suami. Organisasi-organisasi wanita secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui KOWANI mengadakan desakan kepada pemerintah agar membentuk undang-undang perkawinan itu. KOWANI sejak tahun 1930-an mengemukakan pentingnya undang-undang perkawinan yang lebih menjamin kesejahteraan keluarga. Ini juga dilakukan oleh Musyawarah Nasional untuk pekerjaan sosial tahun 1960, oleh Musyawarah Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1960, oleh Konferensi Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4) Pusat tahun 1962 dan oleh Seminar Hukum Nasional tahun 1993. Setelah diperjuangkan bertahun-tahun di DPR, baru Undang-undang Perkawinan dapat disahkan pada akhir tahun 1973 dan menjadi UUP No. 1 tahun 1974. Kendati demikian, masih banyak terjadi perlakuan oleh suami yang menyebabkan penderitaan istri. Menurut hasil penelitian, masih terjadi diskriminasi terhadap wanita di segala bidang kehidupan, terutama dalam keluarga.
Gerakan wanita juga mencakup yayasan-yayasan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kegiatan tertentu yang terbatas, misalnya perbaikan nasib buruh wanita atau khusus mengadakan publikasi dan dokumentasi mengenai wanita. Tujuan mereka juga meningkatkan kedudukan wanita dan menghilangkan diskriminasi dan mereka mempunyai keyakinan bahwa tujuan lebih mudah tercapai dalam kelompok kecil di mana peminatnya mempunyai hubungan yang akrab, tidak bnyak birokrasi, serta adanya pembagian pekerjaan yang luwes. Selain itu kegiatan mereka terutama di tingkat masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Gerakan wanita juga menjelma dalam pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum untuk wanita dan keluarga yang ada di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian, gerakan wanita adalah salah satu usaha untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat dunia dan di Indonesia khususnya didukung oleh pria dan wanita dari berbagai generasi, oleh pergruruan tinggi, lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta, bahkan oleh dunia internasional.

GENDER DI ASIA (INDIA)
Laporan-laporan Mutakhir di India memperlihatkan bahwa banyak politisi perempuan mengalami kesulitan untuk berpartisipasi dalam dunia politik, apalagi hendak menyamakan jurang gender yang ada, dan ini menunjukkan perlunya peningkatan analisa peran yang dimainkan perempuan dalam perpolitikan India. Hal ini didukung oleh pemilihan baru-baru ini.
India menganut demokrasi parlementer dua kamar dengan sistem politik multipartai yang kuat. Majelis rendah disebut Lok Sabha (majelis rakyat) beranggotakan 545 orang. Majelis tinggi disebut Rajya Sabha (majelis Negara bagian) dengan anggota 250 orang. Wakil perempuan pada tahun 1991 sebanyak 5,2 persen dari seluruh anggota Lok Sabha dan 9,8 persen dari seluruh anggota Rajya Sabha[3]. Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan dengan parlemen sebelumnya (1989). Hasil pemilihan umum tahun 1996 memperlihatkan kemunduran yang jauh dalam hal representasi perempuan, tapi pada pemilihan tahun 1999, 8,8 persen dari anggota parlemen adalah perempuan. Kecenderungan yang demikian cukup mencemaskan seperti ditampilkan oleh prakarsa negara baru-baru ini untuk menjamin representasi perempuan dalam lembaga-lembaga politik.
Wakil 39 perempuan dalam Parlemen India periode 1991-1996 sebagian besar berasal dari kalangan kelas menengah, perempuan profesional, yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan gerakan-gerakan perempuan. Sebagian besar di antara mereka memasuki dunia politik lewat hubungan keluarga, sebagian melalui gerakan-gerakan mahasiswa dan ornop, serta sebagian lagi merupakan hasil prakarsa negara yang bertujuan meningkatkan representasi kasta-kasta yang lebih rendah.
Kasta merupakan ciri terpenting dalam kehidupan publik dan politik India. Sebagian besar anggota parlemen perempuan dalam Parlemen X adalah anggota-anggota kasta yang lebih tinggi. Misalnya, ada enam perempuan dari kasta Brahmana. Ini mewakili 17,14 persen anggota parlemen perempuan, angka yang cukup lumayan, sementara kasta Brahmana hanya 5,52 persen dari jumlah seluruh penduduk. Namun, penting untuk menjaga pembuatan korelasi yang sederhana antara kasta dengan representasi politik. Misalnya, dari enam perempuan kasta Brahmana anggota parlemen, dua di antaranya dari Partai Komunis India. Dalam kasus itu, faktor kasta kurang penting ketimbang latar belakang istimewa kelas mereka. Lebih jauh, keduanya adalah produk dari pergerakan politik, perjuangan nasional dan gerakan anti-keadaan darurat.
Dari 39 anggota parlemen perempuan Lok Sabha 1991–1996, 36 orang
 berpendidikan pasca-sarjana; dalam Rajya Sabha 14 dari 17 perempuan adalah sarjana. Posisi kelas perempuan-perempuan ini jelas lebih penting dengan tingkat pendidikan mereka ketimbang kasta. Hanya satu dari tujuh anggota parlemen perempuan yang berasal dari kasta lebih rendah yang bukan sarjana, dan seorang perempuan anggota parlemen dari kasta yang terdaftar dalam Rajya Sabha berpendidikan pasca-sarjana. Tingkat pendidikan juga tercermin dalam profil profesional perempuan-perempuan ini. Dari anggota parlemen perempuan di Rajya Sabha, misalnya, 30 persen adalah pengacara, dan 25 persen di Lok Sabha adalah guru atau dosen.
Sangatlah mengherankan, partisipasi aktif dalam gerakan-gerakan perempuan tidak menjadi salah satu jalur masuk ke dalam partai-partai politik formal oleh anggota parlemen perempuan. Bersama dengan “jalinan kekeluargaan” dan prakarsa negara, faktor penting lain menjepit akses kehidupan politik perempuan tampaknya adalah gerakangerakan sosial dan politik. Gerakan-gerakan ini telah menciptakan jendela peluang dan beberapa perempuan dapat memanfaatkannya untuk akses kehidupan politik.
Misalnya, gerakan nasional adalah mobilisator penting para perempuan. Sumbangan Gandhi yang mengangkat perempuan untuk masuk ke dalam kancah politik sangat tertanam; gerakan kiri juga memobilisasi perempuan.[4] Organisasi-organisasi perempuan dibentuk di bawah payung dan pengawasan partai – Kongres Mahila dan Federasi Seluruh Perempuan India (All India Women’s Federation atau CPI). Namun, tidak satu pun perempuan yang diwawancarai untuk survei ini mempunyai hubungan kuat dengan sayap partai mereka menjelang mereka masuk ke dalam politik parlementer.

GENDER DI DUNIA INTERNASIONAL (Christine Lagarde)
Christine Lagarde Managing Director, IMF Lahir di Paris pada tahun 1956, Christine Lagarde menyelesaikan SMA di Le Havre dan dihadiri Holton Senjata Sekolah di Bethesda (Maryland, USA). Dia kemudian lulus dari sekolah hukum di Universitas Paris X, dan memperoleh gelar Master dari Ilmu Politik Institute di Aix en Provence. Setelah dirawat sebagai pengacara ke Paris Bar, Christine Lagarde bergabung dengan firma hukum internasional Baker & McKenzie sebagai asosiasi, yang mengkhususkan diri dalam Tenaga Kerja, Anti-trust, dan Merger & Akuisisi. Seorang anggota Komite Eksekutif Kantor tahun 1995, Christine Lagarde menjadi Ketua Komite Eksekutif Global Baker & McKenzie pada tahun 1999, dan kemudian Ketua Komite Strategis global pada tahun 2004.
Christine Lagarde bergabung dengan pemerintah Perancis pada bulan Juni 2005 sebagai Menteri Perdagangan Luar Negeri. Setelah yang singkat sebagai Menteri Pertanian dan Perikanan, pada bulan Juni 2007 ia menjadi wanita pertama yang memegang jabatan Menteri negara G-7 Keuangan dan Ekonomi. Dari Juli sampai Desember 2008, dia juga memimpin ECOFIN Dewan, yang menyatukan Ekonomi dan Menteri Keuangan Uni Eropa.
Sebagai anggota G-20, Christine Lagarde terlibat dalam manajemen Grup dari krisis keuangan, membantu untuk mendorong kebijakan internasional yang berkaitan dengan pengawasan keuangan dan regulasi dan memperkuat tata kelola ekonomi global. Sebagai Ketua G-20 ketika Perancis mengambil alih kepresidenan untuk tahun 2011, ia meluncurkan agenda kerja yang luas pada reformasi sistem moneter internasional.
Pada bulan Juli 2011, Christine Lagarde menjadi kesebelas Managing Director IMF, dan wanita pertama yang memegang posisi itu. Christine Lagarde bernama Officier di Legio d'honneur pada bulan April 2012. Seorang mantan anggota tim nasional Perancis untuk berenang disinkronkan, Christine Lagarde adalah ibu dari dua anak laki-laki.[5]






















REFERENSI
Grant, R. 1992. The Quagmire of Gender and International Security’, dalam V.S. Peterson (Ed.).Boulder:  Gendered States.
Spivak, G. 1992. French Feminism Revisited: Ethnics and Politics’, dalam J. Scott dan J. Butler, eds., Feminist Theorize the Political. New York.
Swarup, H.L., Niroj Sinha, Chitra Ghosh, dan Pam Rajput. 1994. “Women’s Political Engagement in India”, dalam B. Nelson dan N. Chowdhury, red. Women and Politics Worldwide. New Haven: Yale University Press.
Chattopadhyaya, K. 1983. Indian Women’s Battle for Freedom. New Delhi: Abhinav Press; Joshi, P. 1989. Gandhi on Women. New Delhi: Navjivan Press.
http://www.imf.org/external/np/omd/bios/cl.htm. Diakses tanggal 11 November 2014, Pukul 14.46 WITA


[1] R.Grant, ‘The Quagmire of Gender and International Security’, dalam V.S. Peterson (Ed.), Gendered States (Boulder: 1992), hal. 86
[2] G. Spivak, ‘French Feminism Revisited: Ethnics and Politics’, dalam J. Scott dan J. Butler, eds., Feminist Theorize the Political (New York: 1992), hal. 57.
[3] Swarup, H.L., Niroj Sinha, Chitra Ghosh, dan Pam Rajput. 1994. “Women’s Political Engagement in India”, dalam B. Nelson dan N. Chowdhury, red. Women and Politics Worldwide. New Haven: Yale University Press. Hal. 362.
[4] Chattopadhyaya, K. 1983. Indian Women’s Battle for Freedom. New Delhi: Abhinav Press; Joshi, P. 1989. Gandhi on Women. New Delhi: Navjivan Press.
[5] http://www.imf.org/external/np/omd/bios/cl.htm. Diakses tanggal 11 November 2014, Pukul 14.46 WITA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar