Senin, 20 April 2015

Negosiasi & Drafting Perjanjian



PERANAN POWER DALAM NEGOSIASI
Studi Kasus: Negosiasi Nuklir
Antara Iran Dengan Negara-Negara P5+1
(AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris)











Tugas Kelompok 5

AMIR
1210521017
SARIFA HANA AHMAD
1210521006


ILMU HUBUNUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS EKNOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS FAJAR
MAKASSAR
2014/2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia yang telah diberikan, kami dapat menyusun makalah Negosisi & Drafting Perjanjian. Hubungan yang dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain, tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan hal diplomasi. Dalam diplomasi ini terdapat sebuah negosiasi yang bertujuan untuk memberikan keuntungan untuk kedua bela pihak.
Makalah ini disusun berdasarkan ruang lingkup pada aspek-aspek Peranan Power dalam negosiasi yang dilaksanakan oleh P5+1 (AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina Serta Jerman) dengan Iran Mengenai Program Nuklirnya. Dengan aspek tersebut dapat di harapkan menjadi pedoman dalam proses belajar dalam mata kuliah Negosisi & Drafting Perjanjian dengan dosen pengasuh Claudia , S.IP., MA
Semoga makalah ini dapat memberikan kontribusi positif. Dan dari lubuk hati yang paling dalam, sangat disadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan  kritik yang membangun kami diharapakan.

 Makassar, 28 Maret 2015


Penulis








DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR............................................................................................. ii
DAFTAR ISI........................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN..................................................................................... 1
A.    Latar Belakang..................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................ 3
BAB II : PEMBAHASAN...................................................................................... 4
A.    Pengertian Negosiasi............................................................................ 4
B.     Negosias Nuklir Iran dengan DK-PBB (P5+1).................................... 7
BAB III : PENUTUP.............................................................................................. 10
A. Kesimpulan........................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 11

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Konflik yang terjadi di sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi di era modern sekarang ini. Berbagai perbedaan antara sebuah kelompok tidak jarang mengalami eskalasi. Begitu pula dengan konflik Internasional yang terjadi antara dua negara atau lebih. Permasalahan utama yang muncul adalah kurangnya koordinasi satu sama lain negara-negara yang  berkonflik serta organisasi Internasional yang terkait begitu juga akan minimnya kesadaran anggota masyarakat di tiap negara. Pengetahuan tentang  pengelolaan konflik banyak memiliki prinsip dan berbagai cara alternatif untuk  pemecahannya daripada sekadar proses hukum. Diharapkan dengan menggunakan cara alternatif seperti melakukan negosiasi bisa menemukan jalan keluar dan keuntungan bagi kedua Negara yang sedang melakukan negosiasi.
Sebagai contoh Negosiasi Program Nuklir Iran dengan DK-PBB yang meskipun telah menjadi fokus internasional, program nuklir Iran dan aktifitasnya tersebut mulai menjadi fokus perhatian dunia secara lebih intens dari sebelumnya ketika pada bulan Februari 2003, Presiden Iran Mohammad Khatami mengumumkan melalui siaran televise mengenai keberadaan fasilitas nuklir Natanz, dan fasilitas nuklir lainnya. Serta secara resmi mengundang IAEA untuk melakukan kunjungan inspeksi ke fasilitas-fasilitas nuklir tersebut.[1]
Pada bulan September 2003 International Atomic Energy Agency atau biasa disebut IAEA yang dipimpin oleh Mohamad El Baradei melakukan kunjungan ke Iran untuk meninjau langsung program nuklir Iran. Dalam kunjungan tersebut, IAEA menyatakan bahwa Iran dianggap gagal dalam melaksanakan perjanjian keamanan terkait program nuklir yang mereka miliki. Kegagalan tersebut terkait dengan beberapa hal yaitu penyembunyian informasi terkait dengan desain bangunan dan kontruksi fasilitas milik Iran yang baru dibangun dan tidak adanya laporan terkait dengan pengolahan dan impor uranium ke IAEA.[2]
Kemudian pada bulan Juli 2003 laporan pendahuluan hasil kunjungan inspeksi IAEA ke fasilitas nuklir Iran dipublikasikan. Pada September 2003 IAEA memberikan ultimatum kepada Iran untuk memberikan keterangan lengkap dan detail mengenai program nuklir dan fasilitas-fasilitasnya.[3] Laporan IAEA ini mendapat perhatian lebih terutama dari Negara-negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa.
Argumen utama pemerintah Amerika Serikat dapat dikatakan serupa dengan argumen yang diketengahkan pada masa pemerintahan Presiden Clinton. Yaitu, Iran adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam minyak dan gas, sehingga tidak membutuhkan tenaga nuklir sebagai sumber energi. Dalam persepsi Amerika Serikat program nuklir Iran memiliki tujuan sebagai senjata pemusnah massal. Amerika Serikat kemudian berupaya untuk menekan Iran agar membatalkan program nuklirnya dengan melakukan penerapan sanksi unilateral dan juga melalui upaya untuk membawa isu nuklir Iran kedalam Dewan Keamanan PBB. Program nuklir sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak lama dan merupakan salah satu kepentingan nasional Iran yang ditujukan sebagai sumber energy alternatif. Program nuklir tersebut juga merupakan hak sah yang dimiliki oleh setiap Negara anggota NPT (Non Proliferation Treaty).
Apabila melihat dari konteks sejarah, program nuklir Iran ini justru pernah mendapatkan dukungan Amerika Serikat melalui berbagai perjanjian kerjasama seperti Pada tahun 1957, Iran dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian kerjasama nuklir untuk tujuan sipil. Perjanjian ini merupakan bagian dari Program Atom Damai Amerika Serikat. Perjanjian tersebut, selain menyediakan bantuan tenaga ahli dan pasokan beberapa kilogram Uranium, juga dimaksudkan untuk memfasilitasi kerjasama dalam bidang penelitian mengenai manfaat dan kegunaan nuklir untuk tujuan damai[4]. Terutama pada era pemerintahan Shah Reza Pahlevi yaitu sebelum terjadinya Revolusi Islam pada tahun 1979.
Hubungan yang semakin memburuk antara kedua negara tersebut terlihat dari reaksi Amerika Serikat dalam kasus ini berupa usaha pemberian sanksi-sanksi kepada Iran seperti menjatuhkan sanksi ekonomi dengan membekukan semua transaksi keuangan yang terindikasi berkaitan dengan bank sentral Iran dan memblokir semua aset pemerintah Iran di AS. Sedangkan embargo minyak mempersempit ruang gerak perekonomian Iran. Tujuan dari sanksi itu sederhana saja: untuk menaikkan biaya dari semua kegiatan jual-beli yang terkait dengan minyak Iran hingga menimbulkan kesulitan sedemikian rupa bagi para mitra dagangnya dalam berbisnis dengan Iran. Kesulitan melakukan transaksi keuangan akan menyebabkan Iran ditinggalkan oleh semua mitra dagangnya, perekonomian Iran akan melemah dan memaksa negara itu kembali ke meja perundingan.[5]
Untuk itu dalam melakukan negosiasi pasti sering terjadi kendala, masalah dan perbedaan pendapat. Maka, untuk mengatasi masalah tersebut baik dari Pihak P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris) maupun pihak Iran harus pintar-pintar menggunakan Power mereka dalam melakukan negosiasi. Sehingga, kita akan melihat bagaimana peranan Power dalam negosiasi nuklir ini agar mendapatkan hasil yang terbaik untuk kepentingan masing-masing ?

B.  Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang ingin dijawab adalah sebagai berikut;
1.    Bagaimana Pengertian dan Pembagian Jenis-Jenis Negosiasi Berdasarkan Obyektifitasnya ?
2.    Bagaimana Peran Power dalam Negosiasi antara Iran dengan P5+1 guna terpenuhinya kebutuhan kedua kubu Negara tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Negosiasi
Negosiasi merupakan tawar menawar dengan cara perundingan untuk memberi dan menerima kesepakatan bersama, mengenai sesuatu hal bagi kepentingan masing-masing pihak. Negosiasi[6] juga dapat dianggap sebagai salah satu cara pengambilan keputusan bersama yang dapat dikenali, harus dibedakan dari koalisi, dimana pilihan dibuat dengan agrgeat angka (Seperti Voting), dan ajudikasi, dimana pilihan dibuat secara hierarkis oleh seorang hakim yang mengumpulkan nilai-nilai dan kepentingan yang bertentangan menjadi keputusan tunggal.
Di dalam bernegosiasi prinsip dasar yang harus sama-sama disadari adalah adanya prinsip memberi dan menerima. Namun seberapa besar porsi memberi dan porsi menerima tergantung kepada kemampuan bernegosiasi. Semakin tinggi kemampuan seseorang bernegosiasi, semakin banyak akan menerima keuntungan dari proses negosiasi. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah kempuan seseorang bernegosiasi, semakin kecil keuntungan dari proses negosiasi dan bahkan mungkin bisa menimbulkan kerugian yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu, seorang Diplomat harus dapat menjadi negosiator yang ulung, yang dapat mengetahui secara pasti kapan harus memberi atau menerima wacana yang dinegosiasikan. Seorang negosiator haruslah memiliki daya peka/kepekaan yang tinggi terhadap situasi dan suasana di dalam proses negosiasi. Daya peka tersebut dapat digunakan oleh seorang negosiator untuk menekan lawannya. Kemampuan negosiasi tidak hanya digunakan untuk menekan lawan negosiasi, tetapi juga merupakan teknik untuk membela diri pada saat tertekan.
Teknik bernegosiasi bukanlah teknik pandai berbicara, namun lebih kepada teknik berbicara pada saat dan situasi yang tepat. Negosiasi adalah seni, yang dapat dipelajari dan bersifat unik karena selain dapat menguntungkan atau merugikan pihak lawan, dapat juga sebagai proses kerja sama/kolaborasi dua Negara yang berbeda kepentingan dengan tujuan akhir hasil yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Kunci sukses negosiasi bukanlah bagaimanana proses negosiasi itu sendiri yang dapat dianggap permainan ataupun sandiwara, namun perencanaan yang handal sebelum dilakukannya negosiasi. Sehingga, dalam hal bagaimana kesepakatan terbentuk antar ke dua belah pihak maka terdapat dua jenis negosiasi berdasarkan Obyektifitasnya yang dilihat dari keuntungan yang dihasilkan. Dua jenis negosiasi[7] tersebut adalah sebagai berikut;
1.      Distributive Negotiation
Negosiasi yang dideskripsikan seperti setiap pihak akan bersaing untuk mendapatkan keuntungan lebih dan kerugian  bagi pihak lain. Contoh dari negosiasi ini adalah ketika Indonesia bersengketa dengan Malaysia soal kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia akhirnya harus merugi. Contoh lain dari distributive negotiation adalah Kasus eksploitasi hasil laut dan perikanan secara berlebihan yang mengancam ekosistem laut antara Indonesia dengan negara-negara lain, seperti maraknya penyelundupan di selat malaka yang mengeruk ikan di wilayah Indonesia sehingga  berdampak merugikan Indonesia khususnya para nelayan. Hal tersebut meluas ke sejumlah forum dunia diantaranya konferensi PBB tentang  pembangunan rio de be janneiro, Brazil.[8]
2.      Integrative Negotiation.
Dalam negosiasi jenis ini, pihak-pihak yang terlibat akan bekerja sama untuk mencapai keuntungan maksimal dengan mengintegrasikan kepentingan mereka (Harvard Business Essentials, 2003). Contoh dari negosiasi ini adalah seperti ketika negara-negara  pendiri ASEAN sepakat untuk mendirikan ASEAN. Contoh lain dari integrative negotiation adalah penyelesaian masalah syuriah dengan AS yang berhasil mencapai kesepakatan untuk meminta syuriah melucuti senjata kimia dengan usaha presiden Barack Obama menunda rencana intervensi militer yang berujung perdamaian.[9]
Jadi, dari dua jenis negosiasi diatas penulis menggunakan jenis kedua untuk menganalisis sebuah kasus yakni Integrative Negotiation dimana dalam negosiasi jenis ini, pihak-pihak yang terlibat akan bekerja sama untuk mencapai keuntungan maksimal dengan mengintegrasikan kepentingan mereka. Kepentingan yang dimiliki setiap Negara dalam melakukan negosiasi bisa menjadikan kekuatan nasional terpenuhi dan menjadi power bagi Negara tersebut. Sehingga, kekuatan nasional tersebut bisa dijadikan daya saing tinggi dalam melakukan negosiasi.
Kekuatan nasional pada hakikatnya merupakan salah satu unsur dalam Hubungan Internasional yang sangat kompleks dan tidak dapat diukur dengan ukuran yang jelas dan pasti. Kekuatan nasional[10] adalah hasil pemikiran yang berdasarkan kajian empiris antar Negara berdasarkan kekuatan nasional yang digunakan untuk mengadakan Hubungan Internasional yang dapat berupa kerjasama maupun konflik antar Negara. Power yang dimaksud bisa berupa kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya maupun kecanggihan tekhnologi yang dimiliki Negara tersebut.
Peran power dalam melakukan negosiasi bisa sangat berpengaruh dalam tercapainya kepentingan antar kedua belah pihak dalam hal kerjasama ataupun bisa menjadi konflik. Sebagai contoh Negosiasi Nuklir Iran dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina Serta Jerman (P5+1).



B.  Negosiasi Nuklir Iran dengan DK-PBB (P5+1)
Sebuah power dapat memberikan kekuatan “ekstra” kepada seorang negosiator dalam menunjukkan kemampuannya bernegosiasi untuk mencapai tujuannya. Power pada hakekatnya adalah kemampuan untuk membawa dan mengendalikan diri sendiri, mengendalikan orang lain, mengendalikan peristiwa-peristiwa dalam segala situasi, sehingga menjadikan keinginan kita dapat terlaksana dan tercapai.[11]
Dengan munculnya senjata pemusna masal dalam hal ini nuklir, yang dimiliki oleh setiap Negara didunia maka akan mengancam keamanan system internasional dan juga keamanan dalam negeri suatu Negara. karena senjata jenis tersebut dapat digunakan kapan saja dengan jarak tempuh berapapun dapat digunakan menghancurkan sebuah Negara. keberadaan senjata nuklir ini hanya memberikan kecemasan pada Negara yang tidak memiliki dan memberikan keuntungan bagi yang memilikinya. Ada beberapa Negara yang mulai memanfaatkannya dan memiliki senjata pemusna missal ini, sedikitnya lima Negara yang memiliki persediaan senjata nuklir.
Selain lima Negara tersebut, ada pula yang tertarik untuk memiliki dan mengembangkan senjata nuklir yaitu Iran. Isu nuklir Iran merupakan salah satu isu penting yang dapat mempengerahui hubungan multilateral dengan Negara-negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris). Iran menjadi sorotan dunia karena diduga melakukan pengembangan uranium. Sehingga, Iran harus ke meja perundingan untuk menyelesaikannya.
Dalam negosiasi ini akan membahas mengenai program nuklir Iran, Dimana Iran memperjuangkan agar sanksi Ekonomi yang dijatuhkan kenegaranya bisa dicabut. Hal ini disambut baik oleh Negara-negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris)yang terbukti dengan kekuatan utama dunia diam-diam telah mulai pembicaraan tentang resolusi Dewan Keamanan PBB, soal upaya mencabut sanksi PBB terhadap Iran jika perjanjian nuklir disepakati.
Bagi Negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris) jika mereka sepakat untuk mencabut sanksi itu maka mereka juga menginginkan sesuatu dari Negara Iran. Untuk itu, negosiasi nuklirpun dimulai di Ibukota Austria, Wina selama lima hari[12] sejak empat putaran sanksi PBB telah gagal memaksa Iran menghentikan pengayaan uranium dan kembali ke meja perundingan yang terputus 13 bulan lalu.[13] Iran dan enam kekuatan dunia melakukan pembicaraan untuk menyelesaikan kesepakatan nuklir tersebut paling lambat Maret 2015, sebelum mencapai kesepakatan akhir Juni mendatanguntuk mengekang kegiatan Nuklir Iran setidaknya 10 tahun untuk imbalan pencabutan sanksi secara bertahap.[14]
Meskipun enam kekuatan dunia yang terlibat negosiasi damai program nuklir Iran telah bekerja keras menyelesaikan perbedaan, keraguan lahirnya kesepakatan masih mewarnai pembicaraan damai ini. Bahkan tim negosiator mengaku sulit mencapai kesepakatan terutama mengenai isu kunci[15] yaitu pengayaan uranium dan sanksi ekonomi. Walaupun Iran ditekan secara diplomatik oleh negara-negara kekuatan dunia seperti AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis dan Jerman. Akan tetapi Arah pembicaraan ini akan menuju kesepakatan nyata dan substansial dalam program nuklir Iran.
Presiden Iran Hassan Rouhani menyebut “sudah ada kemajuan dalam pembicaraan dan sebagian besar kesenjangan dalam pembicaraan sudah dihapus. Sedangkan menurut Mentri Luar Negeri AS John Kerry “negosiasi masih dalam keadaan sulit akan tetapi kami akan melakukan kemajuan dalam hal ini dan kami melihat Pemerintah Iran sangat tangguh dalam memertahankan program nuklir mereka. [16]
Sementara itu, Presiden AS Barack Obama menyuarakan optimisenya akan tercapainya dalam beberapa minggu “Tujuan kami adalah untuk kesepakatan damai, meskipun ini dilakukan dalam hitungan minggu bukan bulan” kata Obama kepada The Huffington Post, seperti dilansir Xinhua, Minggu 22 Maret.[17] Pembicaraan damai program nuklir ini memang tengah giat dilakukan untuk mencapai akhir yang menguntungkan baik Negara Iran maupun Negara-negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris).
Menurut Presiden Iran dan Amerika Serikat “Meskipun terdapat beberapa kemajuan dalam putaran pembicaraan ini, kesenjangan tetap ada pada isu-isu tertentu”. Untuk mengatasi hal tersebut maka antara Iran dengan Negara-negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris) harus melakukan kompromi dalam mengambil langkah-langkah terakhir menuju kesepakatan damai dan bekerjasama dengan tujuan untuk mengamankan hasil yang baik menuju tercapainya perdamaian nuklir Iran.












BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Negosiasi memiliki banyak arti dan salah satunya diartikan sebagai proses diskusi antara beberapa pihak dengan tujuan preventif, menyelesaikan masalah, maupun resolusi konflik. Di dalam bernegosiasi prinsip dasar yang harus sama-sama disadari adalah adanya prinsip memberi dan menerima. Dalam hal inilah negosiasi dapat berjalan sesuai keinginan kedua negosiator. Kunci sukses negosiasi bukanlah bagaimanana proses negosiasi itu sendiri yang dapat dianggap permainan ataupun sandiwara, namun perencanaan yang handal sebelum dilakukannya negosiasi. Sehingga, dalam hal bagaimana kesepakatan terbentuk antar ke dua belah pihak maka terdapat dua jenis negosiasi berdasarkan Obyektifitasnya yaitu Distributive Negotiation dan Integrative Negotiation.
Keberadaan energi nuklir membawa sebuah keadaan dilematis antara keuntungannya sebagai sumber energi alternatif dan ketakutan akan kemunculan senjata pemusnah massal. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu isu konflik antara Iran dan P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris). Walaupun program nuklir Iran sudah ada sejak zaman Pemerintahan Shah Reza Pahlevi. Untuk mengatasi hal tersebut maka dilaksanakanlah negosiasi nuklir iran dengan Negara-negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris). Dalam negosiasi dapat kita lihat peneran power yang sangat menentukan terjalinnya negosiasi yang baik. Di pihak Iran Power yang ditunjukkan adalah Negara tersebut akan terus mengembangkan uranium jika sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat tidak dicabut, sedangkan di pihak P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris) akan melakukan embargo ke Negara Iran tidak mau menghentikan pengayaan uranium yang diklaim akan mengancam Amerika Serikat.

DAFTAR PUSTAKA
Buku;
Adirini Pujayanti. 2012. Sanksi Ekonomi terhadap Iran dan Dampak Internasionalnya.
Carlsnaes, Walter, Thomas Risse, dan Beth A Simmons. 2013. Handbook Hubungan  Internasional. Bandung: Nusa Media.
Lumumba, Patrice. 2013. Negosiasi dalam Hubungan Internasional. Graha Ilmu. Yogyakarta. 
Lewichi, Roy J, et.al. (2003). Negotiation: Exercise, Reading, and Cases, New York. Mac Graw-Hill
Mohammad Sahimi, “Iran’s Nuclear Program, Part I: Its History”, Payvand’s Iran News, Diakses dari www.Payvand.com, pada 28 Maret 2014
Morgenthau, Hans J. 1978. Politik Antar Bangsa. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Mousavi, Mohammad Ali dan Yasser Norouzi, 2010. Iran-US Nuclear Standoff: A Game Theory Approach, Iranian Review of Foreign Affairs, 1 (1), hal. 121 – 152.
US Department of State, "Atoms for Peace Agreement with Iran," Department of State Bulletin 36 (15 April 1957), Hlm, 629; dalam Daniel Poneman, Nuclear Power in the Developing World, (London: George Allen & Unwin, 1982), Hlm, 84
Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A Simmons. 2013. Handbook Hubungan  Internasional. Bandung: Nusa Media.
Roy J Lewichi, et.al. (2003) Negotiation: Exercise, Reading, and Cases, New York. Mac Graw-Hill

Internet;
http://www.gatra.com/2003-07-08/artikel.php?id=29848, diakses pada 8 Juli pukul:01.53 WITA.
Surat Kabar;
Harian Kompas, 1 Oktober 2013
Harian Fajar. 14 Maret 2015. Hal. 7
Harian Fajar. 21 Maret 2015. Hal.7
Harian Fajar. 23 Maret 2015. Hal. 7


[1] Mohammad Sahimi, “Iran’s Nuclear Program, Part I: Its History”, Payvand’s Iran News, Diakses dari www.Payvand.com, pada 28 Maret 2015
[2] Mousavi, Mohammad Ali dan Yasser Norouzi, 2010. Iran-US Nuclear Standoff: A Game Theory Approach, Iranian Review of Foreign Affairs, 1 (1), hal. 121 – 152.
[3] Op., Cit. Diakses dari www.Payvand.com, pada 28 Maret 2015
[4] US Department of State, "Atoms for Peace Agreement with Iran," Department of State Bulletin 36 (15 April 1957), Hlm, 629; dalam Daniel Poneman, Nuclear Power in the Developing World, (London: George Allen & Unwin, 1982), Hlm, 84
[5] Adirini Pujayanti. 2012. Sanksi Ekonomi terhadap Iran dan Dampak Internasionalnya. Hal. 6
[6] Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A Simmons. 2013. Handbook Hubungan  Internasional. Nusa Media. Bandung. Hal. 447
[7] Roy J Lewichi, et.al. (2003) Negotiation: Exercise, Reading, and Cases, New York. Mac Graw-Hill
[8] Harian Kompas, 1 Oktober 2013. Hal. 9
[9] Ibid
[10] Morgenthau, Hans J. 1978. Politik Antar Bangsa. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta
[11] Patrice Lumumba. 2013. Negosiasi dalam Hubungan Internasional. Graha Ilmu. Yogyakarta. 
    Hal. 59
[13] Adirini Pujayanti. 2012. Sanksi Ekonomi terhadap Iran dan Dampak Internasionalnya. Hal. 1
[14] Harian Fajar. 14 Maret 2015. Hal. 7
[15] Harian Fajar. 21 Maret 2015. Hal.7
[16]http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/11/negosiasi-nuklir-iran-diperpanjang-7-bulan-lagi diakses tanggal 28 Maret 2015, pukul. 21.28 Wita
[17] Harian Fajar. 23 Maret 2015. Hal. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar