Senin, 20 April 2015

[PENCEGAHAN KONFLIK MELALUI EKONOMI/SOSIAL STUDI KASUS: PELAKSANAAN “SIX PARTY TALKS” DALAM MENANGANI KRISIS NUKLIR KOREA UTARA]



PENDAHULUAN
Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang dicita-citakan. Kepentingan nasional juga sering dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan.  Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai ”Kepentingan Nasional”.[1] Menurut Morgenthau, Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik.
Dalam mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya, Negara seringkali mengalami perbenturan kepentingan dan ketidak selarasan terhadap suatu hal dengan negara lainnya. Benturan kepentingan ini tak jarang berujung kepada konflik dan perang antar Negara. Untuk menghindari hal tersebut, menurut Scott Burchill[2] dalam perspektif liberalisme, perang dan konflik dapat dihindari dan diatasi dengan dua metode, proses demokrasi dan perdagangan bebas. Proses demokrasi dan institusionalisme dapat membatasi kekuasaan elite yang berkuasa dan menghindari kecenderungan akan kekerasan. Demokrasi liberal dinilai mampu untuk menciptakan dan mengembangkan hubungan damai antar Negara.
Untuk mempromosikan perdamaian, maka dibutuhkan instrumen yang tepat untuk menyampaikan nilai-nilai dan prinsip dasar demokrasi. Instrument itu adalah Diplomasi yang merupakan sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan[3]. Dalam hal ini, diplomasi tidak hanya sebagai instrumen dalam pencapaian kepentingan nasional saja, namun diplomasi juga memainkan peran yang penting dalam mempromosikan perdamaian serta pencegahan konflik dalam dunia internasional.
Dalam kasus semenanjung Korea, diplomasi berperan penting dalam proses perdamaian dan sebagai penentu masa depan hubungan bilateral antara kedua Negara. Konflik semenanjung Korea diawali dengan klaim kedua belah pihak atas kedaulatan diseluruh wilayah semenanjung Korea setelah kemerdekaan yang kemudian berujung kepada perang pada tahun 1950. Perang tersebut berlangsung selama tiga tahun (25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953) dan diakhiri dengan pembagian semenanjung Korea, namun tidak sepenuhnya berakhir karena perang berhenti akibat gencatan senjata dan kedua negara tidak pernah secara resmi menandatangani perjanjian perdamaian.
Konflik berlanjut ketika Korea Utara melakukan proliferasi nuklir dikawasan semenanjung Korea yang mengancam stabilitas regional dan Negara-negara yang berkepentingan di kawasan Asia Timur. Berbagai diplomasi dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih besar, salah satunya melalui kerangka six party talks yang merupakan upaya untuk menghentikan proliferasi nuklir Korea utara melalui negosiasi secara damai.
PENCEGAHAN KONFLIK
Sejumlah proses diplomasi dalam penyelesaian konflik semenanjung Korea dimulai pada tahun 1972, dimana kedua belah pihak setuju bahwa reunifikasi akan menciptakan kedamaian tanpa intervensi pihak luar. Dilanjutkan dengan high level talk yang dihadiri perdana menteri kedua Negara pada September 1990 sampai desember 1992 dengan pertemuan yang berlangsung sebanyak empat kali di Pyongyang dan Seoul. Dalam high level talk ini menghasilkan perjanjian rekonsiliasi, non-agresi, pertukaran, dan kerjasama antaraKorea utara dan Korea selatan yang ditandangi pada 13 Desember 1991. Upaya-upaya tersebut namun tidak membuahkan hasil yang signifikan karena tensi konflik kedua Negara kembali meningkat akibat tidak adanya rasa saling percaya, masih adanya rasa permusuhan, kerjasama yang lemah, serta perbedaan ideologi.[4]
Kerjasama berlanjut kepada konferensi tingkat tinggi yang pertama kali terjadi dalam sejarah hubungan kedua Negara, yaitu Inter Korea Summit pada tahun 2000 yang merupakan hasil dari sunshine Policy yang diterapkan oleh presiden Korea selatan, Kim Dae Jung. KTT ini bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar kedua Negara yaitu dengan mengembangkan industri Gaeseong yang berimplikasi kepada meningkatnya arus perdagangan dan memudahkan pendistribusian bantuan kemanusiaan. Korut berjanji untuk menghentikan propagandanya terhadap Korsel dan mengizinkan ratusan penduduknya untuk  bertemu dengan keluarga mereka di Korsel.
KRISIS NUKLIR KOREA UTARA
Isu nuklir adalah isu yang sangat “seksi” dikalangan pengamat hubungan internasional dimulai pada masa pasca Perang Dunia dan pada era Perang Dingin bahkan hingga saat ini. Sejarah kelam perang dunia membuat masyarakat dunia tidak ingin mengulangi masa-masa pahit tersebut. Namun di sisi lain perang dunia membawa dampak pada perkembangan teknologi khususnya teknologi senjata perang.
Pada era Perang Dingin terdapat beberapa perang yang begitu menegangkan terjadi di kawasan Asia, yakni perang Vietnam dan Korea. Perang Korea sendiri merupakan perang yang terjadi di kawasan Peninsula (Semenanjung Korea) yang begitu memperlihatkan  bagaimana dua ideologi yang berbeda saling beradu untuk membuktikan menjadi ideologi yang tepat digunakan dalam sistem pemerintahan negara yang baru saja merdeka seperti hal nya Korea pada masa itu. Perang Korea akhirnya menjadikan negeri gingseng ini benar-benar terbagi menjadi dua bagian, yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya pembagian Korea menjadi dua entitas negara yang berbeda tidak berarti bahwa keamanan di kawasan Peninsula sudah stabil. Kemungkinan-kemungkinan pecahnya perang Korea selalu mengancam setiap saat hingga saat ini, terlebih melihat perilaku Korea Utara yang seakan selalu mengancam stabilitas keamanan semenanjung korea.
Republik Demokratik Rakyat Korea atau sering disebut Korea Utara adalah negara yang sejak dideklarasikan pada tangal 9 september 1948 (sebelum meletusnya perang Korea) ini tidak pernah berhenti menjadi pembicaraan internasional. Sejak berakhirnya perang Korea  pada tahun 1953 bukan berarti bahwa keamanan kawasan semenanjung korea telah aman. Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan sering memanas meskipun beberapa kali telah diadakan perjanjian genjatan senjata oleh kedua Korea. Ketegangan semakin berlanjut ketika adanya dugaan upaya Korea Utara untuk mengembangkan reaktor nuklir.
Eskalasi krisis semenanjung Korea utara meningkat ketika Korea utara dengan sengaja melakukan proliferasi nuklir dikawasan semenanjung Korea. Tindakan Korea utara ini dianggap sebagai tindakan provokasi yang dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan ini. Hal tersebut kemudian memicu kerjasama multilateral beberapa Negara untuk menyelesaikan krisis nuklir Korea utara. Kerjasama multilateral ini disebut sebagai six party talk yang beranggotakan Korea Utara( Kim Young-il, Deputi Menteri Luar Negeri), Korea Selatan (Lee Soo-hyuk, Deputi Menteri Luar Negeri dan Perdagangan), Amerika Serikat (James Kelly, Asisten Sekretaris Negara untuk urusan Asia Timur dan Pasifik), China (Wang Yi, Wakil Menteri Luar Negeri), Jepang (Mitoji Yabunaka, Direktur-Jenderal untuk Biro Hubungan Asia dan Oseania), dan Rusia (Alexander Losyukov, Deputi Menteri Luar Negeri) sebagai negosiator. Tujuan dari dibentuknya forum ini adalah untuk mempromosikan keamanan dan stabilitas kawasan Asia Timur akibat program nuklir Korea Utara yang dianggap sebagai ancaman stabilitas regional.
Pembentukan ini didasari oleh investigasi CIA yang membuktikan bahwa Korea Utara melakukan aktivitas pengayaan uranium dan pengembangan misil jarak jauh yang kemudian diakui oleh Korut[5]. Korut kemudian menarik diri dari perjanjian non-ploriferasi nuklir yang sebelumnya disepakati dengan Amerika Serikat pada tahun 1994 lalu. Hal ini memicu AS dan Cina untuk kembali melakukan perbincangan mengenai isu nuklir. Pada 23-29 Agustus 2003, Korea Utara setuju untuk menghadiri six party talks di Beijing, China. Dalam pertemuan yang pertama, wakil menteri luar negeri China Wang Yi menyimpulkan hasil pertemuan tersebut sebagai komitmen untuk mengatasi isu nuklir melalui dialog damai, mewujudkan kawasan semenanjung Korea yang bebas nuklir,serta menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi. Dalam hal ini China berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam six party talks pertama, dan Amerika Serikat sebagai negosiator.
Pertemuan kedua berlangsung pada Febuari 2004, dengan Menlu China dan wakil Menlu Russia, melaporkan bahwa Korut menawarkan untuk menghancurkan program nuklirnya, namun tidak akan menghentikan kegiatan nuklir yang bertujuan damai. Sementara Russia dan China menyetujui rencana ini, AS, Jepang, dan Korsel menolak dan menegaskan bahwa Korut harus menghancurkan semua program dan fasilitas nuklirnya atas pertimbangan bahwa biaya pengembangan nuklir ini seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas lain. Hasil dari pertemuan ini tidak menyebutkan langkah-langkah yang signifikan, namun menegaskan kembali komitmen mengenai perwujudan kawasan semenanjung Korea yang bebas nuklir. Pada juni 2004, pertemuan kembali diadakan dengan agenda pengajuan proposal Amerika Serikat mengenai langkah-langkah penghancuran program nuklir korut. Proposal ini memberikan batas waktu tiga bulan bagi korut untuk membekukan programnya.
Six party talks keempat pada awal tahun 2005, untuk pertama kalinya mencapai kesepakatan yang signifikan, yaitu dengan menerbitkan joint statement mengenai langkah-langkah denuklirisasi semenanjung Korea. Korut bersedia untuk meninggalkan dan menghentikan program nuklirnya, kembali bergabung dalam perjanjian non-proliferasi nuklir, dan menerima kedatangan perwakilan IEAE untuk melakukan inspeksi, dengan imbalan pemberian bantuan dan jaminan keamanan bagi Korut. Anggota lain dari six party talks menghargai keinginan Korut untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai, dan setuju untuk berdiskusi mengenai pemberian izin penggunaan reaktor nuklir air yang ringan pada waktu yang tepat. AS dan Korsel menegaskan bahwa mereka tidak akan menggunakan senjata nuklir di semenanjung Korea dan menyatakan, bersama Rusia, Jepang, dan China, bahwa mereka akan memberikan bantuan energi. AS dan Jepang juga menyatakan komitmen mereka untuk menormalisasikan hubunganya dengan Korut.
Pertemuan kelima diwarnai oleh kecaman Korut atas sanksi yang diberikan AS terhadap sejumlah tuduhan AS mengenai pencucian uang Korut di Banco Delta Asia di Macau. Amerika Serikat kemudian membekukan asset Korut tersebut dan sebagai gantinya Korut kembali memboikot perundingan dan melakukan tindakan provokasi dengan meluncurkan beberapa tes peluncuran rudal dan nuklir pada bulan juli, dan oktober 2006. Hal ini memicu respon dewan keamanan PBB yang kemudian mengeluarkan resolusi 1718 yang meminta Korut untuk menahan diri untuk melakukan pengujian nuklir, menghentikan program senjata pemusnah massaa dan program rudal, serta bergabung kembali kepada six party talks. Perjanjian berlanjut pada febuari 2007 dimana diambil langkah-langkah ini sial untuk mengimplementasikan joint statement 2005.
Perjanjian tersebut berisi permintaan agar korut menghentikan dan menutup fasilitas nuklirnya dan mendiskusikan kegiatan yang berhubungan dengan nuklir dengan Negara lain dalam tempo waktu 60 hari. AS dan Jepang berkomitmen untuk menormalisasi hubungan dengan Korut, dan anggota lainnya menyediakan 50.000 ton minyak untuk Korut dalam tempo waktu 60 hari. AS juga setuju untuk menghapus Korea dari daftar “Negara yang mensponsori terorisme”.
Pertemuan keenam, IEAE mengeluarkan laporan yang memastikan bahwa fasilitas nuklir Korea telah dihentikan dan sebagai konsekuensi normalisasi hubungan diplomatiknya[6], Kelima Negara lainnya bersedia menambah jumlah bantuan bahan bakar ke Korea utara. Korut kemudian memberikan rincian program nuklirnya Korut berjanji untuk menutup dan menghentikan program nuklirnya pada akhir tahun 2007.
Selain itu, penyelesaian bilateral antara korut dan korsel juga memiliki posibilitas pencapaian perdamaian. Opsi yang ditawarkan Korsel yang bernama Korean Peninsula Trust Process[7] dimana Korsel bersedia memberikan bantuan kemanusiaan kepada Korut jika ia bersedia untuk menekan ambisinya dalam proliferasi nuklir. Korsel bahkan menawarkan lebih yaitu dengan membantu pembangunan infrastruktur. Dengan penyelesaian bilateral ini,maka diharapkan korsel dan korut dapat membangun kepercayaannya masing-masing tanpa melibatkan intervensi kepentingan eksternal. Selain itu, dengan pemberian bantuan ekonomi dalam pembangunan, diharapkan Korut mampu untuk membangun perekonomiannya sendiri dan mereduksi bantuan asing yang selama ini menjadi sumber utama perekonomian Korut. Sesuai dengan perspektif liberalis yang menyatakan bahwa demokrasi dan free trade mampu mereduksi keinginan untuk berkonflik atau berperang, karena dengan free trade, Negara cenderung memilih untuk berkompetisi dalam pasar dan meningkatkan kapabilitas ekonominya daripada militernya.
KESIMPULAN
Kepentingan Nasional adalah tujuan yang ingin dicapai suatu Negara agar kebutuhannya dapat terpenehui. Dalam pencapaian kepentingan nasional tidak semua berjalan lancar seperti membalikan telapak tangan, ada kalanya terjadi suatu konflik dalam pencapaian tersebut. Untuk itu, setiap Negara pasti akan mencari jalan untuk mencegah konflik tersebut menjadi besar baik melalui bidang Politik/Diplomatik, Hukum/Konstitusi, Ekonomi/Sosial, maupun di bidang Militer/Keamanan.
Dalam kasus Krisis Nuklir Korea Utara pencegahan yang digunakan adalah melalui bidang Ekonomi/Sosial Karena melalui Six party talks yang berperan sebagai think tank yang berfungsi sebagai wadah keenam Negara untuk berdiskusi/Berdialog  mengenai proses perdamaian melalui negosiasi secara damai. Serta, Beberapa Negara akan memberikan bantuan untuk pembangunan negaranya jika Korut mau menghentikan program nuklirnya. Sebagai contoh, AS dan Jepang berkomitmen untuk menyediakan 50.000 ton minyak untuk Korut dalam tempo waktu 60 hari dan AS juga setuju untuk menghapus Korea dari daftar “Negara yang mensponsori terorisme”.

REFERENSI
Buku;
Burchill, Scott, et al. 2005. Theories of International Relations. New York: Palgrave
Seng, Joo Seng; Elizabeth, Ngah-Kiing Lim. Strategies for Effective Cross – Cultural Negotiation: The FRAME Approach. 2004. Singapore. McGrawHill
T, May Rudy. 2002. Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin. Refika Aditama: Bandung
Zhingying, P. 2009. The Six Party Process, Regional Security, Mechanism, and China-US. Cooperation:Toward a Regional Security Mechanism For a New Northeast Asia?. Washington DC: The BrookingsInstitution
Internet;
Bajora, J. (2013). The Six- Party Talks on North Korea’s Nuclear Program. http://www.cfr.org/proliferation/six-party-talks-north-koreas-nuclear-program/p1359 3 Diakses Pada Tanggal 5 April 2015, Pukul 16.01 Wita
The National Unification Advisory Counsil. 2013. Korean Peninsula Trust-Building Process. http://www.nuac.go.kr/english/sub04/view01.jsp?numm=14 Diakses Pada tanggal 5 April 2015, Pukul 16.08 Wita
North Korea Profile. (2013). http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15278612 Diakses pada 5 April 2015, Pukul 15.08 Wita


[1] May Rudy, T. 2012. Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin. Refika Aditama. Bandung. Hal 116
[2] Scott, Burchill, et al. (2005). Theories of International Relations. Palgrave Macmillan. New York:  Hal 56
[3] Joo Seng Seng, Elizabeth, Ngah-Kiing Lim. 2014. Strategies for Effective Cross – Cultural Negotiation: The FRAME Approach. McGrawHill. Singapore. Hal 5 - 6.
[4] P. Zhingying. 2009. The Six Party Process, Regional Security,Mechanism, and China-US Cooperation:Toward a Regional Security Mechanism For a New Northeast Asia?. The BrookingsInstitution. Washington DC. Hal 10
[5] North Korea Profile. (2013). http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15278612 Diakses pada 5 April 2015, Pukul 15.08 Wita
[6] J. Bajora. 2013. The Six- Party Talks on North Korea’s Nuclear Program. http://www.cfr.org/proliferation/six-party-talks-north-koreas-nuclear-program/p1359 3 Diakses Pada Tanggal 5 April 2015, Pukul 16.01 Wita
[7] http://www.nuac.go.kr/english/sub04/view01.jsp?numm=14 Diakses Pada tanggal 5 April 2015, Pukul 16.08 Wita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar