PENDAHULUAN
Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai
sehubungan dengan kebutuhan bangsa/negara atau sehubungan dengan hal yang
dicita-citakan. Kepentingan nasional juga sering dijadikan tolok ukur atau
kriteria pokok bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan
menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan
setiap langkah kebijakan luar negeri (Foreign
Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk
mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai
”Kepentingan Nasional”.[1] Menurut
Morgenthau, Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk
melindungi, dan mempertahankan identitas fisik, politik, dan kultur dari
gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan
kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya kerjasama atau konflik.
Dalam mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya, Negara
seringkali mengalami perbenturan kepentingan dan ketidak selarasan terhadap
suatu hal dengan negara lainnya. Benturan kepentingan ini tak jarang berujung
kepada konflik dan perang antar Negara. Untuk menghindari hal tersebut, menurut
Scott Burchill[2] dalam perspektif
liberalisme, perang dan konflik dapat dihindari dan diatasi dengan dua metode,
proses demokrasi dan perdagangan bebas. Proses demokrasi dan institusionalisme
dapat membatasi kekuasaan elite yang berkuasa dan menghindari kecenderungan
akan kekerasan. Demokrasi liberal dinilai mampu untuk menciptakan dan mengembangkan
hubungan damai antar Negara.
Untuk mempromosikan perdamaian, maka dibutuhkan
instrumen yang tepat untuk menyampaikan nilai-nilai dan prinsip dasar
demokrasi. Instrument itu adalah Diplomasi yang merupakan sebuah bentuk
interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan[3]. Dalam
hal ini, diplomasi tidak hanya sebagai instrumen dalam pencapaian kepentingan
nasional saja, namun diplomasi juga memainkan peran yang penting dalam mempromosikan
perdamaian serta pencegahan konflik dalam dunia internasional.
Dalam kasus semenanjung Korea, diplomasi berperan
penting dalam proses perdamaian dan sebagai penentu masa depan hubungan
bilateral antara kedua Negara. Konflik semenanjung Korea diawali dengan klaim
kedua belah pihak atas kedaulatan diseluruh wilayah semenanjung Korea setelah
kemerdekaan yang kemudian berujung kepada perang pada tahun 1950. Perang
tersebut berlangsung selama tiga tahun (25 Juni 1950 sampai 27 Juli 1953) dan
diakhiri dengan pembagian semenanjung Korea, namun tidak sepenuhnya berakhir
karena perang berhenti akibat gencatan senjata dan kedua negara tidak pernah
secara resmi menandatangani perjanjian perdamaian.
Konflik berlanjut ketika Korea Utara melakukan proliferasi
nuklir dikawasan semenanjung Korea yang mengancam stabilitas regional dan
Negara-negara yang berkepentingan di kawasan Asia Timur. Berbagai diplomasi
dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih besar, salah satunya
melalui kerangka six party talks yang
merupakan upaya untuk menghentikan proliferasi nuklir Korea utara melalui negosiasi
secara damai.
PENCEGAHAN KONFLIK
Sejumlah proses diplomasi dalam penyelesaian konflik
semenanjung Korea dimulai pada tahun 1972, dimana kedua belah pihak setuju
bahwa reunifikasi akan menciptakan kedamaian tanpa intervensi pihak luar.
Dilanjutkan dengan high level talk
yang dihadiri perdana menteri kedua Negara pada September 1990 sampai desember
1992 dengan pertemuan yang berlangsung sebanyak empat kali di Pyongyang dan
Seoul. Dalam high level talk ini
menghasilkan perjanjian rekonsiliasi, non-agresi, pertukaran, dan kerjasama
antaraKorea utara dan Korea selatan yang ditandangi pada 13 Desember 1991.
Upaya-upaya tersebut namun tidak membuahkan hasil yang signifikan karena tensi
konflik kedua Negara kembali meningkat akibat tidak adanya rasa saling percaya,
masih adanya rasa permusuhan, kerjasama yang lemah, serta perbedaan ideologi.[4]
Kerjasama berlanjut kepada konferensi tingkat tinggi
yang pertama kali terjadi dalam sejarah hubungan kedua Negara, yaitu Inter Korea Summit pada tahun 2000 yang
merupakan hasil dari sunshine Policy
yang diterapkan oleh presiden Korea selatan, Kim Dae Jung. KTT ini bertujuan
untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar kedua Negara yaitu dengan mengembangkan
industri Gaeseong yang berimplikasi kepada meningkatnya arus perdagangan dan
memudahkan pendistribusian bantuan kemanusiaan. Korut berjanji untuk
menghentikan propagandanya terhadap Korsel dan mengizinkan ratusan penduduknya
untuk bertemu dengan keluarga mereka di
Korsel.
KRISIS NUKLIR KOREA UTARA
Isu nuklir adalah isu yang sangat “seksi” dikalangan
pengamat hubungan internasional dimulai pada masa pasca Perang Dunia dan pada
era Perang Dingin bahkan hingga saat ini. Sejarah kelam perang dunia membuat
masyarakat dunia tidak ingin mengulangi masa-masa pahit tersebut. Namun di sisi
lain perang dunia membawa dampak pada perkembangan teknologi khususnya
teknologi senjata perang.
Pada era Perang Dingin terdapat beberapa perang yang
begitu menegangkan terjadi di kawasan Asia, yakni perang Vietnam dan Korea.
Perang Korea sendiri merupakan perang yang terjadi di kawasan Peninsula
(Semenanjung Korea) yang begitu memperlihatkan
bagaimana dua ideologi yang berbeda saling beradu untuk membuktikan
menjadi ideologi yang tepat digunakan dalam sistem pemerintahan negara yang
baru saja merdeka seperti hal nya Korea pada masa itu. Perang Korea akhirnya
menjadikan negeri gingseng ini benar-benar terbagi menjadi dua bagian, yakni
Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya pembagian Korea menjadi dua entitas
negara yang berbeda tidak berarti bahwa keamanan di kawasan Peninsula sudah
stabil. Kemungkinan-kemungkinan pecahnya perang Korea selalu mengancam setiap
saat hingga saat ini, terlebih melihat perilaku Korea Utara yang seakan selalu
mengancam stabilitas keamanan semenanjung korea.
Republik Demokratik Rakyat Korea atau sering disebut
Korea Utara adalah negara yang sejak dideklarasikan pada tangal 9 september
1948 (sebelum meletusnya perang Korea) ini tidak pernah berhenti menjadi
pembicaraan internasional. Sejak berakhirnya perang Korea pada tahun 1953 bukan berarti bahwa keamanan
kawasan semenanjung korea telah aman. Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan
sering memanas meskipun beberapa kali telah diadakan perjanjian genjatan
senjata oleh kedua Korea. Ketegangan semakin berlanjut ketika adanya dugaan
upaya Korea Utara untuk mengembangkan reaktor nuklir.
Eskalasi krisis semenanjung Korea utara meningkat
ketika Korea utara dengan sengaja melakukan proliferasi nuklir dikawasan
semenanjung Korea. Tindakan Korea utara ini dianggap sebagai tindakan provokasi
yang dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan ini. Hal tersebut kemudian
memicu kerjasama multilateral beberapa Negara untuk menyelesaikan krisis nuklir
Korea utara. Kerjasama multilateral ini disebut sebagai six party talk yang beranggotakan Korea Utara( Kim Young-il, Deputi
Menteri Luar Negeri), Korea Selatan (Lee Soo-hyuk, Deputi Menteri Luar Negeri
dan Perdagangan), Amerika Serikat (James Kelly, Asisten Sekretaris Negara untuk
urusan Asia Timur dan Pasifik), China (Wang Yi, Wakil Menteri Luar Negeri),
Jepang (Mitoji Yabunaka, Direktur-Jenderal untuk Biro Hubungan Asia dan Oseania),
dan Rusia (Alexander Losyukov, Deputi Menteri Luar Negeri) sebagai negosiator.
Tujuan dari dibentuknya forum ini adalah untuk mempromosikan keamanan dan
stabilitas kawasan Asia Timur akibat program nuklir Korea Utara yang dianggap
sebagai ancaman stabilitas regional.
Pembentukan ini didasari oleh investigasi CIA yang
membuktikan bahwa Korea Utara melakukan aktivitas pengayaan uranium dan
pengembangan misil jarak jauh yang kemudian diakui oleh Korut[5].
Korut kemudian menarik diri dari perjanjian non-ploriferasi nuklir yang
sebelumnya disepakati dengan Amerika Serikat pada tahun 1994 lalu. Hal ini
memicu AS dan Cina untuk kembali melakukan perbincangan mengenai isu nuklir.
Pada 23-29 Agustus 2003, Korea Utara setuju untuk menghadiri six party talks di Beijing, China. Dalam
pertemuan yang pertama, wakil menteri luar negeri China Wang Yi menyimpulkan
hasil pertemuan tersebut sebagai komitmen untuk mengatasi isu nuklir melalui
dialog damai, mewujudkan kawasan semenanjung Korea yang bebas nuklir,serta
menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi. Dalam hal ini China
berperan sebagai fasilitator dan mediator dalam six party talks pertama, dan Amerika Serikat sebagai negosiator.
Pertemuan kedua berlangsung pada Febuari 2004,
dengan Menlu China dan wakil Menlu Russia, melaporkan bahwa Korut menawarkan
untuk menghancurkan program nuklirnya, namun tidak akan menghentikan kegiatan
nuklir yang bertujuan damai. Sementara Russia dan China menyetujui rencana ini,
AS, Jepang, dan Korsel menolak dan menegaskan bahwa Korut harus menghancurkan
semua program dan fasilitas nuklirnya atas pertimbangan bahwa biaya
pengembangan nuklir ini seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas lain. Hasil dari
pertemuan ini tidak menyebutkan langkah-langkah yang signifikan, namun
menegaskan kembali komitmen mengenai perwujudan kawasan semenanjung Korea yang
bebas nuklir. Pada juni 2004, pertemuan kembali diadakan dengan agenda
pengajuan proposal Amerika Serikat mengenai langkah-langkah penghancuran
program nuklir korut. Proposal ini memberikan batas waktu tiga bulan bagi korut
untuk membekukan programnya.
Six party talks keempat pada awal tahun 2005, untuk pertama kalinya
mencapai kesepakatan yang signifikan, yaitu dengan menerbitkan joint statement mengenai langkah-langkah
denuklirisasi semenanjung Korea. Korut bersedia untuk meninggalkan dan menghentikan
program nuklirnya, kembali bergabung dalam perjanjian non-proliferasi nuklir, dan
menerima kedatangan perwakilan IEAE untuk melakukan inspeksi, dengan imbalan
pemberian bantuan dan jaminan keamanan bagi Korut. Anggota lain dari six party talks menghargai keinginan
Korut untuk mengembangkan nuklir untuk tujuan damai, dan setuju untuk
berdiskusi mengenai pemberian izin penggunaan reaktor nuklir air yang ringan
pada waktu yang tepat. AS dan Korsel menegaskan bahwa mereka tidak akan
menggunakan senjata nuklir di semenanjung Korea dan menyatakan, bersama Rusia,
Jepang, dan China, bahwa mereka akan memberikan bantuan energi. AS dan Jepang
juga menyatakan komitmen mereka untuk menormalisasikan hubunganya dengan Korut.
Pertemuan kelima diwarnai oleh kecaman Korut atas
sanksi yang diberikan AS terhadap sejumlah tuduhan AS mengenai pencucian uang
Korut di Banco Delta Asia di Macau. Amerika Serikat kemudian membekukan asset
Korut tersebut dan sebagai gantinya Korut kembali memboikot perundingan dan
melakukan tindakan provokasi dengan meluncurkan beberapa tes peluncuran rudal
dan nuklir pada bulan juli, dan oktober 2006. Hal ini memicu respon dewan
keamanan PBB yang kemudian mengeluarkan resolusi 1718 yang meminta Korut untuk
menahan diri untuk melakukan pengujian nuklir, menghentikan program senjata
pemusnah massaa dan program rudal, serta bergabung kembali kepada six party talks. Perjanjian berlanjut
pada febuari 2007 dimana diambil langkah-langkah ini sial untuk
mengimplementasikan joint statement
2005.
Perjanjian tersebut berisi permintaan agar korut
menghentikan dan menutup fasilitas nuklirnya dan mendiskusikan kegiatan yang
berhubungan dengan nuklir dengan Negara lain dalam tempo waktu 60 hari. AS dan
Jepang berkomitmen untuk menormalisasi hubungan dengan Korut, dan anggota
lainnya menyediakan 50.000 ton minyak untuk Korut dalam tempo waktu 60 hari. AS
juga setuju untuk menghapus Korea dari daftar “Negara yang mensponsori
terorisme”.
Pertemuan keenam, IEAE mengeluarkan laporan yang
memastikan bahwa fasilitas nuklir Korea telah dihentikan dan sebagai
konsekuensi normalisasi hubungan diplomatiknya[6], Kelima
Negara lainnya bersedia menambah jumlah bantuan bahan bakar ke Korea utara. Korut
kemudian memberikan rincian program nuklirnya Korut berjanji untuk menutup dan menghentikan
program nuklirnya pada akhir tahun 2007.
Selain itu, penyelesaian bilateral antara korut dan
korsel juga memiliki posibilitas pencapaian perdamaian. Opsi yang ditawarkan
Korsel yang bernama Korean Peninsula
Trust Process[7]
dimana Korsel bersedia memberikan bantuan kemanusiaan kepada Korut jika ia
bersedia untuk menekan ambisinya dalam proliferasi nuklir. Korsel bahkan
menawarkan lebih yaitu dengan membantu pembangunan infrastruktur. Dengan
penyelesaian bilateral ini,maka diharapkan korsel dan korut dapat membangun
kepercayaannya masing-masing tanpa melibatkan intervensi kepentingan eksternal.
Selain itu, dengan pemberian bantuan ekonomi dalam pembangunan, diharapkan
Korut mampu untuk membangun perekonomiannya sendiri dan mereduksi bantuan asing
yang selama ini menjadi sumber utama perekonomian Korut. Sesuai dengan
perspektif liberalis yang menyatakan bahwa demokrasi dan free trade mampu mereduksi keinginan untuk berkonflik atau
berperang, karena dengan free trade,
Negara cenderung memilih untuk berkompetisi dalam pasar dan meningkatkan
kapabilitas ekonominya daripada militernya.
KESIMPULAN
Kepentingan Nasional adalah tujuan yang ingin
dicapai suatu Negara agar kebutuhannya dapat terpenehui. Dalam pencapaian
kepentingan nasional tidak semua berjalan lancar seperti membalikan telapak
tangan, ada kalanya terjadi suatu konflik dalam pencapaian tersebut. Untuk itu,
setiap Negara pasti akan mencari jalan untuk mencegah konflik tersebut menjadi
besar baik melalui bidang Politik/Diplomatik, Hukum/Konstitusi, Ekonomi/Sosial,
maupun di bidang Militer/Keamanan.
Dalam kasus Krisis Nuklir Korea Utara pencegahan
yang digunakan adalah melalui bidang Ekonomi/Sosial Karena melalui Six party talks yang berperan sebagai think tank yang berfungsi sebagai wadah keenam
Negara untuk berdiskusi/Berdialog mengenai proses perdamaian melalui negosiasi
secara damai. Serta, Beberapa Negara akan memberikan bantuan untuk pembangunan
negaranya jika Korut mau menghentikan program nuklirnya. Sebagai contoh, AS dan
Jepang berkomitmen untuk menyediakan 50.000 ton minyak untuk Korut dalam tempo
waktu 60 hari dan AS juga setuju untuk menghapus Korea dari daftar “Negara yang
mensponsori terorisme”.
REFERENSI
Buku;
Burchill,
Scott, et al. 2005. Theories of
International Relations. New York: Palgrave
Seng, Joo Seng;
Elizabeth, Ngah-Kiing Lim. Strategies for Effective Cross – Cultural
Negotiation: The FRAME Approach. 2004. Singapore. McGrawHill
T, May Rudy. 2002. Study Strategis dalam
transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin. Refika Aditama: Bandung
Zhingying, P. 2009. The Six Party
Process, Regional Security, Mechanism, and China-US. Cooperation:Toward a
Regional Security Mechanism For a New Northeast Asia?. Washington DC: The
BrookingsInstitution
Internet;
Bajora, J. (2013). The Six- Party Talks
on North Korea’s Nuclear Program.
http://www.cfr.org/proliferation/six-party-talks-north-koreas-nuclear-program/p1359
3 Diakses Pada Tanggal 5 April 2015, Pukul 16.01 Wita
The National Unification Advisory
Counsil. 2013. Korean Peninsula Trust-Building Process. http://www.nuac.go.kr/english/sub04/view01.jsp?numm=14
Diakses Pada tanggal 5 April 2015, Pukul 16.08 Wita
North Korea Profile. (2013).
http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15278612 Diakses pada 5 April
2015, Pukul 15.08 Wita
[1] May Rudy, T. 2012. Study
Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin. Refika
Aditama. Bandung. Hal 116
[2] Scott, Burchill, et al. (2005).
Theories of International Relations. Palgrave Macmillan. New York: Hal 56
[3] Joo
Seng Seng, Elizabeth, Ngah-Kiing Lim. 2014. Strategies for Effective Cross –
Cultural Negotiation: The FRAME Approach. McGrawHill. Singapore. Hal 5 - 6.
[4] P. Zhingying. 2009. The Six
Party Process, Regional Security,Mechanism, and China-US Cooperation:Toward a
Regional Security Mechanism For a New Northeast Asia?. The
BrookingsInstitution. Washington DC. Hal 10
[5] North Korea Profile. (2013). http://www.bbc.co.uk/news/world-asia-pacific-15278612
Diakses pada 5 April 2015, Pukul 15.08 Wita
[6] J. Bajora. 2013. The Six- Party
Talks on North Korea’s Nuclear Program. http://www.cfr.org/proliferation/six-party-talks-north-koreas-nuclear-program/p1359
3 Diakses Pada Tanggal 5 April 2015, Pukul 16.01 Wita
[7] http://www.nuac.go.kr/english/sub04/view01.jsp?numm=14 Diakses Pada tanggal 5 April
2015, Pukul 16.08 Wita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar