PERANAN POWER DALAM NEGOSIASI
Studi Kasus: Negosiasi Nuklir
Antara Iran Dengan Negara-Negara
P5+1
(AS,China, Rusia, Perancis, Jerman
dan Inggris)
Tugas
Kelompok 5
AMIR
1210521017
SARIFA HANA
AHMAD
1210521006
ILMU HUBUNUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS EKNOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS FAJAR
MAKASSAR
2014/2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia yang telah diberikan, kami dapat menyusun makalah Negosisi
& Drafting Perjanjian. Hubungan yang dilakukan oleh suatu negara
dengan negara lain, tentu saja tidak bisa dilepaskan dengan hal diplomasi. Dalam
diplomasi ini terdapat sebuah negosiasi yang bertujuan untuk memberikan
keuntungan untuk kedua bela pihak.
Makalah
ini disusun berdasarkan ruang lingkup pada aspek-aspek Peranan Power dalam
negosiasi yang dilaksanakan oleh P5+1 (AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Cina
Serta Jerman) dengan Iran Mengenai Program Nuklirnya. Dengan aspek tersebut
dapat di harapkan menjadi pedoman dalam proses belajar dalam mata kuliah Negosisi
& Drafting Perjanjian dengan dosen pengasuh Claudia , S.IP., MA
Semoga
makalah ini dapat memberikan kontribusi positif. Dan dari lubuk hati yang
paling dalam, sangat disadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun
kami diharapakan.
Makassar, 28 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL...............................................................................................
i
KATA
PENGANTAR.............................................................................................
ii
DAFTAR
ISI...........................................................................................................
iii
BAB
I : PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A. Latar Belakang.....................................................................................
1
B. Rumusan Masalah................................................................................
3
BAB
II : PEMBAHASAN......................................................................................
4
A. Pengertian Negosiasi............................................................................
4
B. Negosias Nuklir Iran dengan DK-PBB (P5+1).................................... 7
BAB
III : PENUTUP..............................................................................................
10
A. Kesimpulan...........................................................................................
10
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Konflik yang terjadi di sebuah negara
merupakan hal yang lazim terjadi di era modern sekarang ini. Berbagai perbedaan
antara sebuah kelompok tidak jarang mengalami eskalasi. Begitu pula dengan
konflik Internasional yang terjadi antara dua negara atau lebih. Permasalahan
utama yang muncul adalah kurangnya koordinasi satu sama lain negara-negara yang
berkonflik serta organisasi Internasional yang terkait begitu juga akan
minimnya kesadaran anggota masyarakat di tiap negara. Pengetahuan tentang
pengelolaan konflik banyak memiliki prinsip dan berbagai cara alternatif
untuk pemecahannya daripada sekadar proses hukum. Diharapkan dengan
menggunakan cara alternatif seperti melakukan negosiasi bisa menemukan jalan
keluar dan keuntungan bagi kedua Negara yang sedang melakukan negosiasi.
Sebagai contoh Negosiasi Program Nuklir
Iran dengan DK-PBB yang meskipun telah menjadi fokus internasional, program
nuklir Iran dan aktifitasnya tersebut mulai menjadi fokus perhatian dunia
secara lebih intens dari sebelumnya ketika pada bulan Februari 2003, Presiden
Iran Mohammad Khatami mengumumkan melalui siaran televise mengenai keberadaan
fasilitas nuklir Natanz, dan fasilitas nuklir lainnya. Serta secara resmi mengundang
IAEA untuk melakukan kunjungan inspeksi ke fasilitas-fasilitas nuklir tersebut.
Pada bulan September 2003 International Atomic Energy Agency atau
biasa disebut IAEA yang dipimpin oleh Mohamad El Baradei melakukan kunjungan ke
Iran untuk meninjau langsung program nuklir Iran. Dalam kunjungan tersebut,
IAEA menyatakan bahwa Iran dianggap gagal dalam melaksanakan perjanjian
keamanan terkait program nuklir yang mereka miliki. Kegagalan tersebut terkait
dengan beberapa hal yaitu penyembunyian informasi terkait dengan desain bangunan
dan kontruksi fasilitas milik Iran yang baru dibangun dan tidak adanya laporan
terkait dengan pengolahan dan impor uranium ke IAEA.
Kemudian pada bulan Juli 2003
laporan pendahuluan hasil kunjungan inspeksi IAEA ke fasilitas nuklir Iran
dipublikasikan. Pada September 2003 IAEA memberikan ultimatum kepada Iran untuk
memberikan keterangan lengkap dan detail mengenai program nuklir dan fasilitas-fasilitasnya. Laporan
IAEA ini mendapat perhatian lebih terutama dari Negara-negara seperti Amerika
Serikat, Uni Eropa.
Argumen utama pemerintah Amerika
Serikat dapat dikatakan serupa dengan argumen yang diketengahkan pada masa
pemerintahan Presiden Clinton. Yaitu, Iran adalah negara yang kaya dengan
sumber daya alam minyak dan gas, sehingga tidak membutuhkan tenaga nuklir
sebagai sumber energi. Dalam persepsi Amerika Serikat program nuklir Iran memiliki
tujuan sebagai senjata pemusnah massal. Amerika Serikat kemudian berupaya untuk
menekan Iran agar membatalkan program nuklirnya dengan melakukan penerapan sanksi
unilateral dan juga melalui upaya untuk membawa isu nuklir Iran kedalam Dewan Keamanan
PBB. Program nuklir sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak lama dan merupakan
salah satu kepentingan nasional Iran yang ditujukan sebagai sumber energy alternatif.
Program nuklir tersebut juga merupakan hak sah yang dimiliki oleh setiap Negara
anggota NPT (Non Proliferation Treaty).
Apabila melihat dari konteks sejarah,
program nuklir Iran ini justru pernah mendapatkan dukungan Amerika Serikat
melalui berbagai perjanjian kerjasama seperti Pada tahun 1957, Iran dan Amerika
Serikat menandatangani perjanjian kerjasama nuklir untuk tujuan sipil.
Perjanjian ini merupakan bagian dari Program Atom Damai Amerika Serikat.
Perjanjian tersebut, selain menyediakan bantuan tenaga ahli dan pasokan
beberapa kilogram Uranium, juga dimaksudkan untuk memfasilitasi kerjasama dalam
bidang penelitian mengenai manfaat dan kegunaan nuklir untuk tujuan damai. Terutama pada era pemerintahan Shah Reza Pahlevi yaitu sebelum
terjadinya Revolusi Islam pada tahun 1979.
Hubungan yang semakin memburuk antara
kedua negara tersebut terlihat dari reaksi Amerika Serikat dalam kasus ini
berupa usaha pemberian sanksi-sanksi kepada Iran seperti menjatuhkan sanksi ekonomi dengan membekukan semua transaksi
keuangan yang terindikasi berkaitan dengan bank sentral Iran dan memblokir
semua aset pemerintah Iran di AS. Sedangkan embargo minyak mempersempit ruang
gerak perekonomian Iran. Tujuan dari sanksi itu sederhana saja: untuk menaikkan
biaya dari semua kegiatan jual-beli yang terkait dengan minyak Iran hingga
menimbulkan kesulitan sedemikian rupa bagi para mitra dagangnya dalam berbisnis
dengan Iran. Kesulitan melakukan transaksi keuangan akan menyebabkan Iran
ditinggalkan oleh semua mitra dagangnya, perekonomian Iran akan melemah dan
memaksa negara itu kembali ke meja perundingan.
Untuk itu dalam melakukan negosiasi
pasti sering terjadi kendala, masalah dan perbedaan pendapat. Maka, untuk
mengatasi masalah tersebut baik dari Pihak P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis,
Jerman dan Inggris) maupun pihak Iran harus pintar-pintar menggunakan Power mereka dalam melakukan negosiasi. Sehingga,
kita akan melihat bagaimana peranan Power
dalam negosiasi nuklir ini agar mendapatkan hasil yang terbaik untuk
kepentingan masing-masing ?
B. Rumusan
Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
permasalahan yang ingin dijawab adalah sebagai berikut;
1.
Bagaimana
Pengertian dan Pembagian Jenis-Jenis Negosiasi Berdasarkan Obyektifitasnya ?
2.
Bagaimana
Peran Power dalam Negosiasi antara Iran dengan P5+1 guna terpenuhinya kebutuhan
kedua kubu Negara tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Negosiasi
Negosiasi merupakan tawar menawar dengan cara perundingan
untuk memberi dan menerima kesepakatan bersama, mengenai sesuatu hal bagi
kepentingan masing-masing pihak. Negosiasi
juga dapat dianggap sebagai salah satu cara pengambilan keputusan bersama yang
dapat dikenali, harus dibedakan dari koalisi, dimana pilihan dibuat dengan agrgeat angka (Seperti Voting), dan
ajudikasi, dimana pilihan dibuat secara hierarkis oleh seorang hakim yang
mengumpulkan nilai-nilai dan kepentingan yang bertentangan menjadi keputusan
tunggal.
Di
dalam bernegosiasi prinsip dasar yang harus sama-sama disadari adalah adanya prinsip memberi
dan menerima. Namun seberapa besar porsi memberi dan porsi menerima tergantung
kepada kemampuan bernegosiasi. Semakin tinggi kemampuan seseorang bernegosiasi,
semakin banyak akan menerima keuntungan dari proses negosiasi. Demikian juga
sebaliknya, semakin rendah kempuan seseorang bernegosiasi, semakin kecil
keuntungan dari proses negosiasi dan bahkan mungkin bisa menimbulkan kerugian
yang tidak diinginkan.
Oleh
karena itu, seorang Diplomat harus dapat menjadi negosiator yang ulung, yang
dapat mengetahui secara pasti kapan harus memberi atau menerima wacana yang
dinegosiasikan. Seorang negosiator haruslah memiliki daya peka/kepekaan yang
tinggi terhadap situasi dan suasana di dalam proses negosiasi. Daya peka
tersebut dapat digunakan oleh seorang negosiator untuk menekan lawannya.
Kemampuan negosiasi tidak hanya digunakan untuk menekan lawan negosiasi, tetapi
juga merupakan teknik untuk membela diri pada saat tertekan.
Teknik
bernegosiasi bukanlah teknik pandai berbicara, namun lebih kepada teknik
berbicara pada saat dan situasi yang tepat. Negosiasi adalah seni, yang dapat
dipelajari dan bersifat unik karena selain dapat menguntungkan atau merugikan
pihak lawan, dapat juga sebagai proses kerja sama/kolaborasi dua Negara yang
berbeda kepentingan dengan tujuan akhir hasil yang terbaik bagi kedua belah
pihak.
Kunci
sukses negosiasi bukanlah bagaimanana proses negosiasi itu sendiri yang dapat
dianggap permainan ataupun sandiwara, namun perencanaan yang handal sebelum
dilakukannya negosiasi. Sehingga, dalam hal bagaimana kesepakatan terbentuk
antar ke dua belah pihak maka terdapat dua jenis negosiasi berdasarkan
Obyektifitasnya yang dilihat dari keuntungan yang dihasilkan. Dua jenis negosiasi tersebut adalah sebagai berikut;
1.
Distributive Negotiation
Negosiasi
yang dideskripsikan seperti setiap pihak akan bersaing untuk mendapatkan
keuntungan lebih dan kerugian bagi pihak
lain. Contoh dari negosiasi ini adalah ketika Indonesia bersengketa dengan
Malaysia soal kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia akhirnya harus
merugi. Contoh lain dari distributive
negotiation adalah Kasus eksploitasi hasil laut dan perikanan secara
berlebihan yang mengancam ekosistem laut antara Indonesia dengan negara-negara
lain, seperti maraknya penyelundupan di selat malaka yang mengeruk ikan di
wilayah Indonesia sehingga berdampak
merugikan Indonesia khususnya para nelayan. Hal tersebut meluas ke sejumlah
forum dunia diantaranya konferensi PBB tentang
pembangunan rio de be janneiro, Brazil.
2.
Integrative Negotiation.
Dalam
negosiasi jenis ini, pihak-pihak yang terlibat akan bekerja sama untuk mencapai
keuntungan maksimal dengan mengintegrasikan kepentingan mereka (Harvard
Business Essentials, 2003). Contoh dari negosiasi ini adalah seperti ketika
negara-negara pendiri ASEAN sepakat
untuk mendirikan ASEAN. Contoh lain dari integrative
negotiation adalah penyelesaian masalah syuriah dengan AS yang berhasil
mencapai kesepakatan untuk meminta syuriah melucuti senjata kimia dengan usaha
presiden Barack Obama menunda rencana intervensi militer yang berujung
perdamaian.
Jadi,
dari dua jenis negosiasi diatas penulis menggunakan jenis kedua untuk
menganalisis sebuah kasus yakni Integrative
Negotiation dimana dalam negosiasi jenis ini, pihak-pihak yang terlibat
akan bekerja sama untuk mencapai keuntungan maksimal dengan mengintegrasikan
kepentingan mereka. Kepentingan yang dimiliki setiap Negara dalam melakukan
negosiasi bisa menjadikan kekuatan nasional terpenuhi dan menjadi power bagi Negara tersebut. Sehingga, kekuatan
nasional tersebut bisa dijadikan daya saing tinggi dalam melakukan negosiasi.
Kekuatan nasional pada hakikatnya merupakan salah satu unsur
dalam Hubungan Internasional yang sangat kompleks dan tidak dapat diukur dengan
ukuran yang jelas dan pasti. Kekuatan nasional
adalah hasil pemikiran yang berdasarkan kajian empiris antar Negara berdasarkan
kekuatan nasional yang digunakan untuk mengadakan Hubungan Internasional yang
dapat berupa kerjasama maupun konflik antar Negara. Power
yang dimaksud bisa berupa kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya maupun kecanggihan
tekhnologi yang dimiliki Negara tersebut.
Peran
power dalam melakukan negosiasi bisa
sangat berpengaruh dalam tercapainya kepentingan antar kedua belah pihak dalam
hal kerjasama ataupun bisa menjadi konflik. Sebagai contoh Negosiasi Nuklir
Iran dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa AS, Inggris, Perancis,
Rusia, dan Cina Serta Jerman (P5+1).
B.
Negosiasi Nuklir Iran dengan DK-PBB
(P5+1)
Sebuah
power dapat memberikan kekuatan
“ekstra” kepada seorang negosiator dalam menunjukkan kemampuannya bernegosiasi
untuk mencapai tujuannya. Power pada hakekatnya adalah kemampuan untuk membawa
dan mengendalikan diri sendiri, mengendalikan orang lain, mengendalikan
peristiwa-peristiwa dalam segala situasi, sehingga menjadikan keinginan kita
dapat terlaksana dan tercapai.
Dengan
munculnya senjata pemusna masal dalam hal ini nuklir, yang dimiliki oleh setiap
Negara didunia maka akan mengancam keamanan system internasional dan juga
keamanan dalam negeri suatu Negara. karena senjata jenis tersebut dapat
digunakan kapan saja dengan jarak tempuh berapapun dapat digunakan
menghancurkan sebuah Negara. keberadaan senjata nuklir ini hanya memberikan
kecemasan pada Negara yang tidak memiliki dan memberikan keuntungan bagi yang
memilikinya. Ada beberapa Negara yang mulai memanfaatkannya dan memiliki
senjata pemusna missal ini, sedikitnya lima Negara yang memiliki persediaan senjata
nuklir.
Selain
lima Negara tersebut, ada pula yang tertarik untuk memiliki dan mengembangkan
senjata nuklir yaitu Iran. Isu nuklir Iran merupakan salah satu isu penting
yang dapat mempengerahui hubungan multilateral dengan Negara-negara P5+1 (AS,China,
Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris). Iran menjadi sorotan dunia karena diduga
melakukan pengembangan uranium. Sehingga, Iran harus ke meja perundingan untuk
menyelesaikannya.
Dalam
negosiasi ini akan membahas mengenai program nuklir Iran, Dimana Iran
memperjuangkan agar sanksi Ekonomi yang dijatuhkan kenegaranya bisa dicabut.
Hal ini disambut baik oleh Negara-negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis,
Jerman dan Inggris)yang terbukti dengan kekuatan utama dunia diam-diam telah
mulai pembicaraan tentang resolusi Dewan Keamanan PBB, soal upaya mencabut
sanksi PBB terhadap Iran jika perjanjian nuklir disepakati.
Bagi
Negara P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris) jika mereka sepakat
untuk mencabut sanksi itu maka mereka juga menginginkan sesuatu dari Negara
Iran. Untuk itu, negosiasi nuklirpun dimulai di Ibukota Austria, Wina selama
lima hari
sejak empat putaran sanksi PBB telah gagal memaksa Iran menghentikan pengayaan
uranium dan kembali ke meja perundingan yang terputus 13 bulan lalu.
Iran dan enam kekuatan dunia melakukan pembicaraan untuk menyelesaikan
kesepakatan nuklir tersebut paling lambat Maret 2015, sebelum mencapai
kesepakatan akhir Juni mendatanguntuk mengekang kegiatan Nuklir Iran setidaknya
10 tahun untuk imbalan pencabutan sanksi secara bertahap.
Meskipun
enam kekuatan dunia yang terlibat negosiasi damai program nuklir Iran telah
bekerja keras menyelesaikan perbedaan, keraguan lahirnya kesepakatan masih
mewarnai pembicaraan damai ini. Bahkan tim negosiator mengaku sulit mencapai
kesepakatan terutama mengenai isu kunci
yaitu pengayaan uranium dan sanksi ekonomi. Walaupun Iran ditekan secara
diplomatik oleh negara-negara kekuatan dunia seperti AS, Rusia, Tiongkok,
Inggris, Perancis dan Jerman. Akan tetapi Arah pembicaraan ini akan menuju
kesepakatan nyata dan substansial dalam program nuklir Iran.
Presiden
Iran Hassan Rouhani menyebut “sudah ada kemajuan dalam pembicaraan dan sebagian
besar kesenjangan dalam pembicaraan sudah dihapus. Sedangkan menurut Mentri
Luar Negeri AS John Kerry “negosiasi masih dalam keadaan sulit akan tetapi kami
akan melakukan kemajuan dalam hal ini dan kami melihat Pemerintah Iran sangat
tangguh dalam memertahankan program nuklir mereka.
Sementara
itu, Presiden AS Barack Obama menyuarakan optimisenya akan tercapainya dalam beberapa
minggu “Tujuan kami adalah untuk kesepakatan damai, meskipun ini dilakukan
dalam hitungan minggu bukan bulan” kata Obama kepada The Huffington Post, seperti dilansir Xinhua, Minggu 22 Maret.
Pembicaraan damai program nuklir ini memang tengah giat dilakukan untuk
mencapai akhir yang menguntungkan baik Negara Iran maupun Negara-negara P5+1 (AS,China,
Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris).
Menurut
Presiden Iran dan Amerika Serikat “Meskipun terdapat beberapa kemajuan dalam
putaran pembicaraan ini, kesenjangan tetap ada pada isu-isu tertentu”. Untuk
mengatasi hal tersebut maka antara Iran dengan Negara-negara P5+1 (AS,China,
Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris) harus melakukan kompromi dalam mengambil
langkah-langkah terakhir menuju kesepakatan damai dan bekerjasama dengan tujuan
untuk mengamankan hasil yang baik menuju tercapainya perdamaian nuklir Iran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Negosiasi
memiliki banyak arti dan salah satunya diartikan sebagai proses diskusi antara
beberapa pihak dengan tujuan preventif, menyelesaikan masalah, maupun resolusi
konflik. Di dalam bernegosiasi prinsip dasar yang harus sama-sama disadari adalah adanya prinsip memberi
dan menerima. Dalam hal inilah negosiasi dapat berjalan sesuai keinginan kedua
negosiator. Kunci sukses negosiasi bukanlah bagaimanana proses negosiasi itu
sendiri yang dapat dianggap permainan ataupun sandiwara, namun perencanaan yang
handal sebelum dilakukannya negosiasi. Sehingga, dalam hal bagaimana
kesepakatan terbentuk antar ke dua belah pihak maka terdapat dua jenis
negosiasi berdasarkan Obyektifitasnya yaitu Distributive
Negotiation dan Integrative
Negotiation.
Keberadaan energi nuklir membawa sebuah
keadaan dilematis antara keuntungannya sebagai sumber energi alternatif dan
ketakutan akan kemunculan senjata pemusnah massal. Hal inilah yang kemudian
menjadi salah satu isu konflik antara Iran dan P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis,
Jerman dan Inggris). Walaupun program nuklir Iran sudah ada sejak zaman
Pemerintahan Shah Reza Pahlevi. Untuk mengatasi hal tersebut maka
dilaksanakanlah negosiasi nuklir iran dengan Negara-negara P5+1 (AS,China,
Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris). Dalam negosiasi dapat kita lihat peneran
power yang sangat menentukan terjalinnya negosiasi yang baik. Di pihak Iran
Power yang ditunjukkan adalah Negara tersebut akan terus mengembangkan uranium
jika sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh Amerika Serikat tidak dicabut,
sedangkan di pihak P5+1 (AS,China, Rusia, Perancis, Jerman dan Inggris) akan
melakukan embargo ke Negara Iran tidak mau menghentikan pengayaan uranium yang
diklaim akan mengancam Amerika Serikat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku;
Adirini Pujayanti. 2012. Sanksi Ekonomi terhadap Iran dan Dampak
Internasionalnya.
Carlsnaes, Walter, Thomas Risse,
dan Beth A Simmons. 2013. Handbook
Hubungan Internasional. Bandung:
Nusa Media.
Lumumba, Patrice.
2013. Negosiasi dalam Hubungan
Internasional. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Lewichi, Roy J,
et.al. (2003). Negotiation: Exercise,
Reading, and Cases, New York. Mac Graw-Hill
Mohammad Sahimi,
“Iran’s Nuclear Program, Part I: Its
History”, Payvand’s Iran News, Diakses dari www.Payvand.com, pada 28 Maret
2014
Morgenthau, Hans
J. 1978. Politik Antar Bangsa.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Mousavi, Mohammad
Ali dan Yasser Norouzi, 2010. Iran-US
Nuclear Standoff: A Game Theory Approach, Iranian Review of Foreign Affairs,
1 (1), hal. 121 – 152.
US Department of
State, "Atoms for Peace Agreement with Iran," Department of State
Bulletin 36 (15 April 1957), Hlm, 629; dalam Daniel Poneman, Nuclear Power in
the Developing World, (London: George Allen & Unwin, 1982), Hlm, 84
Walter Carlsnaes,
Thomas Risse, dan Beth A Simmons. 2013. Handbook
Hubungan Internasional. Bandung:
Nusa Media.
Roy J Lewichi,
et.al. (2003) Negotiation: Exercise,
Reading, and Cases, New York. Mac Graw-Hill
Internet;
http://www.gatra.com/2003-07-08/artikel.php?id=29848,
diakses pada 8 Juli pukul:01.53 WITA.
Surat Kabar;
Harian Kompas, 1 Oktober 2013
Harian Fajar. 14 Maret
2015. Hal. 7
Harian Fajar. 21 Maret
2015. Hal.7
Harian Fajar. 23 Maret 2015.
Hal. 7