Jumat, 18 Januari 2013

sastra korea

Sastra Korea
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Sastra Korea (한국 문학) adalah jenis sastra yang ditulis dan berkembang di Korea. Periode kesusastraan Korea dibagi menjadi 2 periode, klasik dan moderen. Tradisi tulis awal dimulai dari zaman purba dengan didapatnya bukti-bukti epigraf yang diukir di dinding-dinding makam kuno. Pada Zaman Tiga Kerajaan (37 SM-985 M), dikarenakan pengaruh budaya Tionghoa, orang Korea mulai menulis dengan aksara Tionghoa dan membuat kertas. Maka mulai saat itu teks-teks ditulis di atas kertas atau potongan bambu. Tradisi tulis di Korea mulai berkembang pesat semenjak diperkenalkannya Buddhisme dan Konfusianisme di zaman itu dimana banyak kuil-kuil dan perguruan dibangun untuk mendukung kegiatan menulis dan membaca. Berulangnya invasi dan perang pada periode ini membuat hanya sedikit saja peninggalan karya tulis zaman itu yang masih tersisa.
Daftar isi
• 1 Sastra klasik
o 1.1 Hyangga
o 1.2 Goryeo gayo
o 1.3 Sijo
o 1.4 Gasa
• 2 Sastra moderen
• 3 Sastra Korea di Indonesia

Sastra klasik
Sastra pra-moderen dinamakan sastra klasik. Sastra jenis ini dihasilkan daripada pandangan dan kepercayaan religius seperti ajaran Buddha, Kong Hu Chu dan Tao. Para sarjana dan ilmuwan Korea pada zaman kuno mendalami bahasa dan tulisan Tionghoa. Sastra klasik ditulis menggunakan aksara Tionghoa. Sistem penulisan bahasa klasik (hanmun) digunakan untuk dokumen-dokumen resmi, sementara sistem idu dan gugyeol mulai serta hangeul digunakan untuk karya tidak resmi. Para pembaca karya sastra di Korea pada zaman ini merupakan rakyat kelas atas. Umumnya mereka menikmati karya-karya sastra Tiongkok klasik.
Hyangga
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hyangga
Hyangga adalah jenis syair yang ditulis dalam aksara Tionghoa dengan sistem idu. Hyangga yang merupakan karya sastra Silla dicirikan dengan batasan-batasan formal yang bisa tersusun atas atas 4, 8, atau 10 bait. Syair 10 bait paling digemari, dengan struktur 4-4-2. Tema hyangga sebagian besar adalah mengenai Buddhisme.
Goryeo gayo
Pada zaman Dinasti Goryeo, muncul jenis seni sastra yang lebih populer, yakni Goryeo Gayo atau Lagu Goryeo. Goryeo gayo mempunyai bentuk khusus yakni byeolgok. Goryeo gayo dibagi dalam dua jenis yakni dallyeonche dan yeonjanche. Dallyeonche tersusun atas satu bait sementara yeonjanche tersusun atas banyak bait. Tema-tema Goryeo gayo umumnya menceritakan tentang kehidupan manusia dan keindahan alam. Salah satu syair yang terkenal adalah Gwandong byeolgok (byeolgok pesisir timur) yang menceritakan keindahan pantai di laut timur Gangwon.
Sijo
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sijo
Sijo berkembang di zaman Joseon dan menjadi sangat digemari kalangan masyarakat umum. Sijo merefleksikan pemikiran Konfusianisme dan tema mengenai kesetiaan. Sijo mempunyai komposisi 3 bait dengan masing-masing bait terdiri atas 4 baris kalimat.
Gasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Gasa
Gasa juga muncul dan berkembang pesat di zaman Joseon, terutama pada kalangan bangsawan. Gasa berisikan tema-tema yang umum seperti ekspresi perasaan, keindahan alam, cinta dan kehidupan manusia.
Sastra moderen
Periode sastra klasik berakhir pada saat runtuhnya Dinasti Joseon dan zaman sastra moderen dimulai. Periode ini disebut Gaehwa gyemong (Pencerahan) dimana setelah setelah peristiwa Reformasi Gabo pada tahun 1894, bermunculan sekolah-sekolah barat dan media cetak yang menerbitkan karya sastra yang lebih bebas dan tidak terikat aturan seperti karya sastra klasik. Genre puisi baru dinamakan sinchesi dan gaya puisi bebas dinamakan jayusi.
Awal perkembangan sastra moderen erat kaitannya dengan pengaruh doktrin dari barat dan agama Kristen akibat meningkatnya kontak dagang dan ekonomi. Sastra moderen menjadi semakin pesat semenjak meluasnya penggunaan aksara hangeul. Hangeul sangat bermanfaat meningkatkan melek huruf rakyat. Genre novel baru (sinsoseol) ditulis dalam aksara hangeul menikmati kepopulerannya pada masa itu.
Sastra Korea mengalami tekanan besar pada zaman Penjajahan Jepang (1910-1945) karena segala aspek budaya dan seni Korea ditekan dan diberangus. Ekspresi dan tema tentang rasa percaya diri dan kebebasan tidak lagi berlaku seperti sebelumnya. Sastra Korea pada saat itu mencari bentuk baru untuk beradaptasi dengan tema pencarian jati diri dan kenyataan konkrit. Tema karya sastra tahun 1920-an umumnya menceritakan tentang penderitaan rakyat jelata yang memilukan.
Sampai pada tahun 1980-an, sastra Korea tidak banyak dikenal di luar negeri. Antologi karya sastra Korea yang pertama diterbitkan dalam bahasa Inggris adalah Flowers of Fire pada tahun 1986.
Sastra Korea di Indonesia
Karya sastra Korea di Indonesia tidak banyak dikenal. Namun semenjak berbagai universitas membuka jurusan dan pengajaran bahasa Korea, perlahan pemahaman dan minat akan sastra dan bahasa Korea meningkat. Karya pertama sastra Korea yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah sebuah antologi cerpen berjudul Kumpulan Cerpen Korea: Laut dan Kupu-kupu terbitan Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2007.

SASTRA KOREA KLASIK
1. Hyangga

Sejak awal musik dan tari memegang peran yang penting bagi masyarakat Korea, dan karena hal itu banyak orang Cina yang tertarik. Sejak ada sistem huruf beberapa syair personal ditemukan tetapi karena tidak sesuai zaman maka sudah tidak ditampilkan. Hyangga adalah puisi-puisi yang ditulis dalam sistem penulisan asli, ditulis pada tiga negara, silla bersatu, dan periode awal goryeo dalam sejarah korea. Hanya sebagian kecil yang tersisa. Total jumlahnya berkisar antara 25 dan 27, tergantung pada hyangga tertentu yang dianggap asli atau tidak.
Nama hyangga didapatkan dari huruf “desa” atau “desa kecil,” (digunakan oleh orang silla untuk menggambarkan bangsa mereka) dan huruf “lagu.” Puisi2 ini kadang disebut juga lagu silla.
Hyangga merupakan sastra Korea klasik jenis puisi yang unik. Ditulis ulang kebahasa Cina dengan sistem fonetik yang disebut hyangch’al, mirip dengan Man’yeosheu (c. 759). Hyangga awal dipercaya ditulis dalam periode goryeo, karena gaya penulisan ini mulai hilang. Contoh dari Hyangga terdiri dari 25, 14 dalam buku memorabilia and Mirabilia of the Three Kongdoms (sangug Yusa, 1285) dan 11 pada buku Life of the Great Master Kyunyeo (Gyunyeojeon. Wihong, suami ratu jinseong dari silla,) dan biksu taegu hwasong menyusun buku tentang hyangga.
Jenis syair yang ditulis dalam aksara tionghoa dengan sistem idu. 20 dari 25 Hyangga berisi tentang ajaran Buddha, merefleksikan kehidupan masa kerajaan Silla dan Goryeo yang pada saat itu sedang dipengaruhi oleh Buddha.
Hyangga masih mengikuti aturan/ bentuk formal dan biasanya tersusun atas 4, 8 dan 10 bari Puisi dengan 10 baris adalah yang paling berkembang, dibentuk menjadi tiga bagian dengan 4, 4, dan dua baris bergantian. Kebanyakan puisi sepuluh baris ditulis oleh pendeta budha, sehingga tema – tema tentang agama budha mendiminasi puisi jenis ini.
Biasanya berbentuk balada dan berisi tentang kesadaran kehidupan beragama dan bangsawan-bangsawan. Tema lain yang dominan adalah kematian. Banyak diantara puisi ini adalah puji-pujian bagi pendeta, ksatria, dan anggita keluarga, contohnya kepada saudara perempuan. Periode silla khusunya sebelum penyatuan pada 6698 adalah saat – saat perang dan hyangga menceritakan kesedihan dan duka bagi yang meninggal, sedangkan agama budha memberikan penjelasan tentang kemana mereka pergi dan kehidupan sesudah mati.
Hyangga yang umum adalah “Ode untuk kehidupan abadi,” atau mungkin “ode untuk surga.” Puisi ini adalah lagu yang memanggil bulan untuk menyatakan doa untuk surga barat, rumah Amita (atau amitabha – surga barat budha). Penulis puisi ini masih belum jelas, ada yang mengatakan bahwa penulisnya adalah seorang biksu bernama Gwangdeok, atau sumber lain mengatakan bahwa penulisnya adalah istri sang pendeta. Meskipun demikian Hyangga sebagian besar ditulis oleh prajurit.

Salah satu contoh Hyangga yang sudah diterjemahkan

Kwangdeok (fl. 661-681)
unannihilated?
PRAYER TO AMITABHA

O Moon
Go to the West, and
Pray to Amintabha
And say

that theres in one who
A dotes the judical throne, and
Longs for the Pure Land,
Praying before Himwith folded hands.

Can the forty-eight vows be met
If this flesh remains
2. Goryeo Gayo atau Lagu Goryeo

Merupakan contoh puisi Korea jaman pertengahan yang memiliki ciri pengulangan refren yang menunjukan asal musik tradisional dan transmisi oral mereka. Biasanya dinyanyikan dengan diiringi musik terutama suara drum dan oleh penyanyi perempuan yang diberi nama kisaeng. Jeong Cheol, seorang penyair pada abad 16, dikenal sebagai orang yang menyempurnakan bentuk puisi ini, yang terdiri atas baris paralel, tiap barisnya terbagi menjadi dua atau empat unit suku kata. Goreo Gayo muncul setelah hilangnya Hyangga pada dinasti Goryeo.
Goryeo gayo mempunyai bentuk khusus yakni byeolgok. Goryeo gayo dibagi dalam dua jenis yakni dallyeonche dan yeonjanche . Dallyeonche tersusun atas satu bait sementara yeonjanche tersusun atas banyak bait. Satu syair yang terkenal adalah Gwandong byeolgok (byeolgok pesisir timur) yang menceritakan keindahan pantai di laut timur Gangwon.
Identitas penulis Goreo Gayo biasanya tidak dikenal atau anonim. Merupakan jenis sastra lisan yang dinyanyikan tetapi pada dinasti choson ini direkam dan ditulis ke naskah yang berbahasa Korea.
Lebih bebas dan tidak terikat oleh aturan formal (puisi bebas). Biasanya berisi realitas kehidupan dalam cinta, kehidupan sehari hari dan keindahan alam.

Salah satu contoh Koreo song yang telah diterjemahkan

THE TURKISH BAKERY

I go to the Turkish shop, buy a bun,
An old Turk grasps me by the hand.
If this story is spead abroad,
You alone are to blame, little actor.
I will go, yes, go to this brower:
A norrow place, sultry and dark.

I go to the Samjang Tample, light the lantern,
A chief priest grasps me by the hand.
If this story is spread abroad,
You alone are to blame, little altar boy.
I will go, yes, go to this brower:
A narrow place, sultry and dark.

I go to the village well, draw the water,
A dragon within grasps me by the hand.
If this story is spread abroad,
You alone are to blame, O scooper.
I will go, yes, go to this bower:
A narrow place, sultry and dark.

I go to the tavern, buy the wine,
An innkeeper grasps me by the hand.
If this story is spread abroad,
You alone are to blame, O wine jug.
I will go, yes, go to his bower:
A narrow place, sultry and dark.

3. Sijo

Sijo adalah bentuk puisi yang mewakili periode Choson, berkembang pesat pada masa Choson meskipun pada masa akhir Goryeo Gayo sudah ada. Merupakan karya sederhana namun artistik
Sijo ditulis menggunakan bahasa asli Korea bukan dengan aksara Cina. Sijo terdiri dari 3 bait dengan masing-masing bait terdiri atas 4 kalimat. Tiga baris dengan 14-16 suku kata, total dalam sebuah sijo, 44-46 (tema (3, 4, 4, 4); pengembangan (3, 4, 4, 4), balasan untuk tema, (3,5) dan pelengkap (4,3). Sijo bisa dalam bentuk naratif atau tematik dan memperkenalkan situasi pada baris 1, perkembangan pada baris 2, dan kseimpulan dan akhir yang berbeda pada baris ke 3. Setengah pertama baris terakhir menunjukkan “twist/ pemelintiran/ akhir yang berbeda;” makna, suara, dan hal lain yang mengejutkan. Sijo sering sangat liris dan bersifat pribadi dibanding bentuk puisi asia timur lain, namun “kesimpulan dari sijo sering epigramatis atau mengejutkan”
Sijo sebagian besar ditulis oleh penyair penyair yang masih menguasai tentang konfusianisme, dan biasanya bertema kesetiaan. Dan selain itu tema tentang bukolik, metafisik, dan kosmologis adalah yang peling sering dipelajari.
Beberapa penyair Sijo yang terkenal antara lain Hwang Chin-i (c. 1506-1544) dan Cheong Ch’eol (1537-1594).
Sijo merupakan bentuk puisi yang paling populer dari Korea, digemari oleh kaum bangsawan sampai rakyat jelata diekspersikan dengan unsur unsur dari alam. Lalu semakin lama sijo dimasukan unsur satir dan humor berisi kritikan dan sindiran.

Salah satu contoh Sijo yang telah diterjemahkan

Hwang chin-i (c. 1506-1544)

I will break the back.
Of this long, midwinter night,
Folding it double,
Cold beneath my spring quilt,
That I may draw out
The night, should my love return.

TRANSLATED BY DAVID R. MCCANN
*
Do not boast of your speed,
O blue-green steam running by the hills:
Once you have reached the wide ocean,
You can reaturn no more.
Why not stay here and rest,
When moonlight stuffs the empty hills?
*
Mountains are steadfast but the mountain streams
Go by, go by,
And yesterdays are like the rushing streams,
They fly, they fly,
And the great heroes, famous for a day,
They die, they die.
*
Blue mountains speak of my desire,
Green waters reflect my lover’s love:
The mountains unchanging,
The waters flowing by.
Sometimes it seems the waters cannot forget me,
They part in tears, regretting, running away.

4. Kasa
Kasa juga muncul dan berkembang pesat di zaman Joseon, terutama pada kalangan bangsawan. Merupakan lirik lagu untuk nada Kasa, tidak ada pembagian stansa. Panjangnya Kasa bervariasi tetapi cenderung panjang. Dan cenderung beisi deskripsi dan eksposisi, begitu juga liris. Bentuk Kasa merupakan bentuk bait yang sederhana, dengan tiga bait yang memiliki 3 hingga 4 suku kata per baitnya yang diulang empat kali. Karena sifat isinya yang berbeda-beda, ada beberapa yang melihat Kasa sebagai semacam esai, seperti dalam periode awal Joseon misalnya, Kasa seperti Chong Kuk-in's Sangch'un-gok (Tune in Praise of Spring), Song Sun's Myonangjongga (Song of Myonangjong Pavilion), dan Chong Ch'iol's Kwandong pyolgok (Song of Kwandong), Samiin-gok (Song in Recollections of a Beautiful Woman) dan Songsan pyolgok (Song of Mt. Songsan), dan lain sebagainya.
Kasa muncul sebagai genre baru pada pertengahan abad ke15 bentuknya lalu disempurnakan oleh beberapa ahli yaitu Cheong Ch’eol (1537-1594) dan Heo Hanseorheon (1563-1585).
Kasa berisikan tema-tema yang umum seperti ekspresi perasaan, keindahan alam, cinta pria wanita (kesetiaan), kehidupan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan pencerahan rohani. Merupakan transisi dari puisi ke Prosa puisi. Tidak terbatas ekspresi individual tertapi mencakup nasihat moral.
Selain itu terdapat naebang kasa (kasa of the women's quarters) yang ditulis oleh perempuan. Kasa ini mendapatkan popularitas luas. Secara khusus, kasa pada periode terakhir mengalami perubahan bentuk, menjadi lebih panjang dan membosankan.

Salah satu contoh Kasa yang telah diterjemahkan

HYMN OF CONSTANCY
(Samiin-gok)

When heaven created this body, I was born to serve you.
It is a lifetome affinity, Heaven, too, knows it.
I stayed young and you loved me alone.
Nothing can match my constancy and your love.
My lifelong wish was to be with you always.
Why in our old age do we yearn for each other?
Yesterday I repaired with you to Moon Place.
But for some reason, I came down no the lower world.
My hair, well-combed then,
Has been disheveled for three years.
I’ve rouge and powder,
But for whom should I make up?
My mine, tied in knots of grief, piled fold upon fold,
Only produces sighs, only brings tears.
Life has an end; only sorrow is endless.

Fickle time flows, flows by like water;
Cold and heat come and go, as if they know time.
Much to hear and see, everything stirs deep feeling.
In an instant spring winds hollow out piled snow,
And two or three plum sprays blossom outside my window.
They are calm and easy, why do they send hidden fragrance?
At dusk the moon rises and shines on my pillow.
Is it feeling and welcoming? Is it my lord, is it not?
Were I to send him a plum branch,
What whould he think when he saw it?
Flowers are gone, and a green shadow adorns the ground.
Grauze curtains are forlorn, embroidered canopies raised in vain.
Pulling a lotus curtain aside, I set a peacock screen.
My grief is enough- O long cruel day!
Cut the silk stuff with mandarin-duck designs,
Loosen the thread of five colors,
And size it with a golden measur:
I make this clotes with skill and style, every detail proper.
On a coral carrier in a white jade box
I’d offer him this garment, gazing toward his far abode-
Mountains are rugged, could are ominous,
Who will risk these thousand miles?
Whould he open the box and welcome it as if it were me?
When frost falls overnight and will geese pass crying,
I stand on high tower rolling up the crystal screen:
The moon rises over the eastern hill, and stars glitter in the north-
Is it he? I rush out to meet him: Only tears blind my eyes.
Let me seize a handful of clear light
And send it to your phoenix yower.
Hang it atop the tower, please, let it shine over eight corners,
And make every deep hill and valley bright as day.

Now the whole world is frozen; white snow is everywhere,
Both men and birds have vanished from sight.
When the south balnk of the Hsiao and hsiang
Is as cold as it is now,
How cld must he be in that high tower?
Would I might catch spring, make it shine on him!
Would I might offer him the sunlight
That once shone on my cottage eaves.
Tucking in my red skirt, rolling up my green sleeves,
I lean on tall bambo at night I sit up
With a mica-inlaid harp by the hanging blue lamp,
Chin inmy hand, leaning on a wall, hoping to dream of him,
O cold is the mandarin- duck embroidered quilt,
Long is the night.

Twelve times a day, thirty days in the month,
In vain I try, not to drink, but to bury this grief,
Tangled in knots and piercing me to the marrow.
Not even ten renowned doctors can cute my sickness.
This is all, alas, all due to my lord.
Better to die and become a butterfly,
Stop at each flower, rest upon each branch,
With scrented wings, and light upon his cloak.
He my not remember me:
Yet I will follow him.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar