Rabu, 19 Juni 2013

negosisi antara RI-RDTL mengenai keamanan perbatasan



Tugas
                  KEAMANAN DI PERBATASAN
                  ANTARA INDONESIA & RDTL
                         MELALUI NEGOSIASI        
       
                                  AMIR
                             1210521017
     PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
                FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
                                   UNIVERSITAS FAJAR
                                           MAKASSAR
                                              2012/2013

                                                                                               

Konsep-Konsep diplomasi yang dikenal sejak awal perkembangannya di Eropa Barat, kemudian Amerika Utara. Ditinjau juga beberapa konsep yang muncul dari Asia, seperti India, China dan Timur Tengah (sebagai tempat awal berkembangnya agama islam). Pembahasan berbagai konsep dilakukan dengan tujuan untuk mencari akar budaya politik Indonesia merupakan akulturasi dari berbagai sumber/ajaran tersebut diatas.[1] Beberapa ahli politik telah menerima prinsip bahwa politik yang diterapkan di Asia dalam banyak segi berbeda dengan yang diterapkan di Eropa / Amerika Utara. Misalnya Arthasastra karangan Kautilya kitab dari jaman India Kuno yang membahas mengenai politik dan administrasi.[2]
Pengaruh ajaran Arthasastra dari india kuno lebih tampak dalam diplomasi Indonesia disbanding dengan pengaruh dari ajaran islam atau China. Sebagai contoh, bahasa Sansekerta dipakai secara luas didalam istilah-istilah seperti Departemen Luar Negeri Indonesia (Caraka Bhuana) yang berarti “duta Besar” seperti yang tertulis dalam lambing DEPLU.[3] Menurut Sir Ernest Satow sejak tahun 1922 telah mendefinisikan diplomasi sebagai aplikasi intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara pemerintah yang berdaulat, yang kadangkala diperluas dengan hubungan dengan Negara-negara jajahannya. Yang dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan tidak resmi, saling menyampaikan cara pandang, lobby, kunjungan, dan aktifitas-aktifitas lainnya yang terkait.[4] Untuk mencapai kepentingan nasional, keterampilan dalam berdiplomasi merupakan syarat utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional, yang pada dasarnya dipergunakan untuk mencapai kesepakatan, kompromi dan penyelesaian masalah di mana tujuan pemerintah saling bertentangan.[5]
Sebagai Contoh, Kasus antara Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) mengenai Keamanan Di Perbatasan ;
Setelah selama kurang lebih 24 tahun menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia,[6] yaitu Provinsi ke 27 pada tanggal 17 Juli 1976.[7] Timor Timur (atau yang juga dikenal dengan berbagai sebutan nama seperti Timor Leste, Timor Loro Sea, East Timor) pada akhirnya memilih berpisah dari Indonesia.[8] Setelah keluar dari wilayah Indonesia dan menjadi Negara baru, RDTL membangun hubungan khusus hubungan luar negerinya dengan Indonesia, Timor Leste telah menunjukkan kesungguhannya untuk membangun hubungan baru dengan Indonesia dengan berpijak pada prinsip-prinsip hubungan bertetangga dengan saling menghormati dan saling menguntungkan antara kedua Negara dan masyarakatnya. Hubungan kedua Negara memperoleh fondasi yang semakin kukuh ketika presiden RI SBY melakukan kunjungan ke Timor Leste pada 8-9 April 2005. Dalam kunjungannya, Presiden SBY menggarisbawahi pentingnya hubungan Bilateral RI-RDTL yang menurut pandangannya hanya akan berhasil baik apabila kedua Negara mampu menghasilkan hubungan komprehensif. Artinya hubungan bilateral kedua Negara harus mencakup banyak bidang, yakni, Sosial, Ekonomi, budaya, dan dan bahkan keamanan (yang meliputi militer dan kepolisisan).[9]
            Meskipun secara substansial RI-RDTL membagun hubungan yang relative baik, kondisi ini tidak berartibahwa hubungan bilateral mereka terlepasdari berbagai hambatan. Salah satu isu yang terus memicu sentiment nasionalisme Indonesia adalah[10] persoalan perbatasan antara kedua Negara. Potensi konflik bisa terjadi, akibat persaingan antara kedua Negara dalam memperoleh sumber daya alam dan tumpang tindih klaim atas batas-batas territorial darat dan laut di perbatasan. Sebagai contoh terdapat 4% beberapa segmen garis batas darat yang belum disepakati. Kondisi ini berpotensi sebagai ancaman keamanan yang pada gilirannya akan memengaruhi kadar substansi hubungan bilateral RI-RDTL. Beberapa segmen tersebut antara lain terdapat di perbatasan Neolbesi-Kupang, Kefamenanu-Timor Tengah Utara (TTU) dan Malibaka-Belu.[11]
            Pemahaman ini mendorong kedua pemerintah di Jakarta dan Di Dili dalam waktu kurung beberapa tahun terakhir untuk berusaha menuntaskan masalah tapal batas perbatasan antardua Negara. Tapi persoalan penyelundupan yang berulang kali terjadi di perbatasanRI-RDTL telah menggangu upaya mereka untuk menyelesaikan persoalan demarkasi di atas. Dilain sisi, aktifitas sebagian penduduk di wilayah perbatasan juga dapat memicu persoalan pelik keamanan lintas batas Negara antara RI-RDTL, terutama penggunaan wilayah perbatasan di bagian Wilayah Indonesia (NTT) sebagai basis kampanye politik oleh pemimpin pemberontak yang gagal dalam kudeta politik di Dili pada mei 2006, Mayor Alfredo Reinado merupakan bukti jelas masih rawannya soal keamanan dan kedaulatan di perbatasan.[12] Wilayah perbatasan antarnegara di NTT yang terletak di lima wilayah kebupaten yaitu, Belu, Kupang, TTU, Alor dan Rote Ndao, pada umumnya kondisi masyarakat di wilayah perbatasan tersebut miskin dengan tingkat kesejahteraan ekonomi, kondisi ekonomi, kesehatan dan lingkungan yang rendah serta kehadiran Pengungsi Timor Leste di wilayah tersebut.[13]
            Dalam kaitan ini, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mengolah masalah keamanan di perbatasan, yang secara umum dapat digolongkan sebagai berikut ;
·         Secara Eksternal, pemerintah Indonesia telah pro aktif berupaya menjalin kerjasama dengan RDTL dalam masalahperbatasan. Salah satu hasil dari diplomasi perbatasan ini adalah dibentuknya Joint Border Committee (JBC).
·         Secara Internal, pandangan masa lalu yang melihat perbatasan sebagai daerah rawan yang perlu mendapatkan pengawasan dan control yang ketat, karena menjadi tempat persembunyian para oposan pemerintah dan pemberontak telah menjadikan pemerintah pusat lebih mengutamakan pembangunan wilayah perbatasan dengan pendekatan keamanan.[14]
Namun, kombinasi pendekatan eksternal dan internal diatas ternyata tidak mudah dalam tahap implementasinya. Prakti di lapangan justru memperlihatkan bahwa kombinasi pendekatan ini dalam pengelolaan masalah keamanan masih jauh dari harapan. Pada satu sisi, malalui serangkaian pembicaraan sejak tahun 2002 dalam kerangka JBC, pemerintah RI-RDTL telah sepakat atas 907 titik koordinat dalam perjanjiaan sementara tentang perbatasan  darat antara RI-RDTL yang ditandatangani oleh menteri luar negeri Indonesia, N. Hasan Wirayuda, dan menteri luar negeri RDTL Jose Ramos Horta pada 8 April 2005 di Dili.[15]
            Hingga saat ini, wilayah perbatasan kedua Negara masih menghadapi berbagai permasalahan tidak sederhana, salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh provinsi NTT di wilayah perbatasan adalah kondisi social dan ekonomi masyarakat yang sangat minim. Kondisi ini dapat dilihat dari angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks kemiskinan Manusia (IKM) dan tingkat Pendapatan Domestik Bruno Masyarakat (PDBR).[16]
Dengan merujuk pada masih rentannya kondisi keamanan wilayah perbatasan RI-RDTL di provinsi NTT sebagaimana dijelaskan diatas dapat diasumsikan bahwa pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dalam pengelolaan masalah perbatasan belum sepenuhnya berjalan efektif dan berhasil. Ada sejumlah permasalahan pokok yang memngaruhi ketidakberhasilan tersebut yang perlu segera di tangani dan secara garis besar dapat di identifikasi sebagai berikut :
1.      Komitmen Pemerintah untuk pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan di bandingkan pendekatan keamanan masih belum di jalankan secara penuh.
2.      Masalah koordinasi dan perbedaan konsepsi kewenangan dalam pengelolaan wilayah perbatasann.
3.      Pengelolaan masalah keamanan di perbatasan khusunya mengenai penyelesaian kasus batas, semestinya tidak hanya bertumpu pada hokum internasional.
4.      Kerja sama yang lebih luas dengan Timor Leste untuk pengelolaan masalah perbatasan kurang mendapat perhatian.
Oleh karena itu masalah keamanan di perbatasan adalah masalah dua Negara yang penyelasaiannya untuk jangka pendek dan jangka panjang juga perlu keterlibatan Timor Leste.[17]
Dari pembahasan di atas dapat di lihat bahwa ada beberapa yang menjadi latar belakang masalah antara Indonesia Dan Timor Leste tentang keamanan perbatasan.
1.      Perbatasan darat kedua Negara terdiri dari dua bagian. Pertama, perbatasn di sekitar Oecusse yaitu suatu enclave yang merupakan bagian wilayah kedaultan Timor Leste yang berada di Timor Barat (yang meruapakan wilayah RI di NTT) dan terpisah sekitar 60 km dari wilayah induknya. Kedua, perbatasan sepanjang 149,9 km yang memelah pulau Timor menjadi Timor Barat di Barat dan Timor Leste di bagian Timur.
2.      Di abaikannya Human Security di perbatasan.
3.      Ketiadaan atau keterbatasan sumber kehidupan ekonomi, kesejahteraan sosial kesehatan dan pendidikan yang rendah pada masyarakta di perbatasan, dan juga “warga baru” di tempat pengungsian dan resettlement, secara potensial dapat menjadi sumber ancaman keamanan.
Adapun jalan yang dilakukan melalui jalan diplomasi perbatasan. Tapi sayangnya hal itu tidak berhasil karena masih banyak masalah yang ada di perbatasan belum bisa diselesaikan melalui Negosiasi.






KESIMPULAN
Dari pembahasan yang diperoleh dari 2 buku panduan mengenai Hubungan antara RI-RDTL dapat dikatakan bahwa pada Buku “Diplomasi antara teori dan Praktek” mengatakan bahwa permasalahan timor leste / timor timur dianggap sebagai permasalahan dalam negeri bukan masalah penting. Akan tetapi hal itu malah membuat Timor Timur lepas dari pangkuan ibu pertiwi RI. Sedangkan dalam buku “Keamanan Di Perbarbatasan RI-RDTL” merujuk pada lepasnya RDTL dari Indonesia. Walaupun sudah lepas tapi permasalahan masih sering terjadi di perbatasan.
Dari hal ini dapat di tarik kesimpulan bahwa dari pemerintahan orde baru sering terjadi pelanggaran HAM di timor-Timur bahkan Negara tersebut sempat ditutup dari dunia internasional, sehingga RTDL memutuskan keluar dan berdiri sendiri sebagai suatu Negara yang berdaulat. Setelah lebih 24 tahun RDTL lepas dari RI, tapi mengingat sejarah tentang peristiwa kemanusiaan disana, bahkan sampai sekarang sering terjadi di perbatasan. Karena hal itu, pemerintah RI melakukan Diplomasi perbatasan di RDTL khususnya Di Dili. Tapi karena saking banyaknya pelanggaran dan dareah yang tidak mendukung sebab kemiskinan sehingga sampai saat ini diplomasi mengenai perbatasan antara RI-RDTL masih jauh dari kata Berhasil.







DAFTAR PUSTAKA

Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi Antara Teori dan

Praktek.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wuryandari, Ganewati. 2009. Keamanan Di Perbatasan Indonesia-Timor

Leste. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Sukawarsini Djelantik. 2008. Diplomasi Antara Teori dan Praktek. Graha Ilmu. Yogyakarta. Hal. 3.
[2] Ibid. Hal. 7.
[3] Ibid. Hal. 11.
[4] Ibid. Hal. 3-4.
[5] Ibid. Hal. 4.
[6] Ganewati Wuryandari, Cahyo Pamungkas, Firman Noor dan Bob Sugeng Hadiwinata. 2009. Keamanan Di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 3
[7] Op.cit. Hal. 108.
[8] Op.cit. Hal. 3.
[9] Ibid. Hal. 3-5.
[10] Ibid. Hal. 5
[11] Ibid. Hal. 7-10.
[12] Ibid. Hal. 10-11.
[13] Ibid. Hal. 11-12.
[14] Ibid. Hal. 14
[15] Ibid. Hal. 16.
[16] Ibid. Hal. 17
[17] Ibid. Hal. 21-22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar