Tugas
KEAMANAN DI PERBATASAN
ANTARA INDONESIA & RDTL
MELALUI NEGOSIASI
AMIR
1210521017
KEAMANAN DI PERBATASAN
ANTARA INDONESIA & RDTL
MELALUI NEGOSIASI
AMIR
1210521017
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS FAJAR
MAKASSAR
2012/2013
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS FAJAR
MAKASSAR
2012/2013
Konsep-Konsep diplomasi yang dikenal sejak
awal perkembangannya di Eropa Barat, kemudian Amerika Utara. Ditinjau juga
beberapa konsep yang muncul dari Asia, seperti India, China dan Timur Tengah
(sebagai tempat awal berkembangnya agama islam). Pembahasan berbagai konsep
dilakukan dengan tujuan untuk mencari akar budaya politik Indonesia merupakan
akulturasi dari berbagai sumber/ajaran tersebut diatas.[1]
Beberapa ahli politik telah menerima prinsip bahwa politik yang diterapkan di
Asia dalam banyak segi berbeda dengan yang diterapkan di Eropa / Amerika Utara.
Misalnya Arthasastra karangan Kautilya kitab dari jaman India Kuno yang
membahas mengenai politik dan administrasi.[2]
Pengaruh ajaran Arthasastra dari india kuno
lebih tampak dalam diplomasi Indonesia disbanding dengan pengaruh dari ajaran
islam atau China. Sebagai contoh, bahasa Sansekerta dipakai secara luas didalam
istilah-istilah seperti Departemen Luar Negeri Indonesia (Caraka Bhuana) yang
berarti “duta Besar” seperti yang tertulis dalam lambing DEPLU.[3]
Menurut Sir Ernest Satow sejak tahun 1922 telah mendefinisikan diplomasi
sebagai aplikasi intelejen dan taktik untuk menjalankan hubungan resmi antara
pemerintah yang berdaulat, yang kadangkala diperluas dengan hubungan dengan
Negara-negara jajahannya. Yang dilakukan melalui korespondensi, pembicaraan
tidak resmi, saling menyampaikan cara pandang, lobby, kunjungan, dan
aktifitas-aktifitas lainnya yang terkait.[4]
Untuk mencapai kepentingan nasional, keterampilan dalam berdiplomasi merupakan
syarat utama seorang diplomat yang terlibat dalam politik internasional, yang
pada dasarnya dipergunakan untuk mencapai kesepakatan, kompromi dan
penyelesaian masalah di mana tujuan pemerintah saling bertentangan.[5]
Sebagai Contoh, Kasus antara Indonesia dan
Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) mengenai Keamanan Di Perbatasan ;
Setelah selama kurang lebih 24 tahun menjadi
bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia,[6]
yaitu Provinsi ke 27 pada tanggal 17 Juli 1976.[7]
Timor Timur (atau yang juga dikenal dengan berbagai sebutan nama seperti Timor
Leste, Timor Loro Sea, East Timor) pada akhirnya memilih berpisah dari
Indonesia.[8]
Setelah keluar dari wilayah Indonesia dan menjadi Negara baru, RDTL membangun
hubungan khusus hubungan luar negerinya dengan Indonesia, Timor Leste telah
menunjukkan kesungguhannya untuk membangun hubungan baru dengan Indonesia
dengan berpijak pada prinsip-prinsip hubungan bertetangga dengan saling
menghormati dan saling menguntungkan antara kedua Negara dan masyarakatnya.
Hubungan kedua Negara memperoleh fondasi yang semakin kukuh ketika presiden RI
SBY melakukan kunjungan ke Timor Leste pada 8-9 April 2005. Dalam kunjungannya,
Presiden SBY menggarisbawahi pentingnya hubungan Bilateral RI-RDTL yang menurut
pandangannya hanya akan berhasil baik apabila kedua Negara mampu menghasilkan
hubungan komprehensif. Artinya hubungan bilateral kedua Negara harus mencakup
banyak bidang, yakni, Sosial, Ekonomi, budaya, dan dan bahkan keamanan (yang
meliputi militer dan kepolisisan).[9]
Meskipun
secara substansial RI-RDTL membagun hubungan yang relative baik, kondisi ini
tidak berartibahwa hubungan bilateral mereka terlepasdari berbagai hambatan.
Salah satu isu yang terus memicu sentiment nasionalisme Indonesia adalah[10]
persoalan perbatasan antara kedua Negara. Potensi konflik bisa terjadi, akibat
persaingan antara kedua Negara dalam memperoleh sumber daya alam dan tumpang
tindih klaim atas batas-batas territorial darat dan laut di perbatasan. Sebagai
contoh terdapat 4% beberapa segmen garis batas darat yang belum disepakati.
Kondisi ini berpotensi sebagai ancaman keamanan yang pada gilirannya akan
memengaruhi kadar substansi hubungan bilateral RI-RDTL. Beberapa segmen
tersebut antara lain terdapat di perbatasan Neolbesi-Kupang, Kefamenanu-Timor
Tengah Utara (TTU) dan Malibaka-Belu.[11]
Pemahaman
ini mendorong kedua pemerintah di Jakarta dan Di Dili dalam waktu kurung
beberapa tahun terakhir untuk berusaha menuntaskan masalah tapal batas
perbatasan antardua Negara. Tapi persoalan penyelundupan yang berulang kali
terjadi di perbatasanRI-RDTL telah menggangu upaya mereka untuk menyelesaikan
persoalan demarkasi di atas. Dilain sisi, aktifitas sebagian penduduk di
wilayah perbatasan juga dapat memicu persoalan pelik keamanan lintas batas
Negara antara RI-RDTL, terutama penggunaan wilayah perbatasan di bagian Wilayah
Indonesia (NTT) sebagai basis kampanye politik oleh pemimpin pemberontak yang
gagal dalam kudeta politik di Dili pada mei 2006, Mayor Alfredo Reinado merupakan
bukti jelas masih rawannya soal keamanan dan kedaulatan di perbatasan.[12]
Wilayah perbatasan antarnegara di NTT yang terletak di lima wilayah kebupaten
yaitu, Belu, Kupang, TTU, Alor dan Rote Ndao, pada umumnya kondisi masyarakat
di wilayah perbatasan tersebut miskin dengan tingkat kesejahteraan ekonomi,
kondisi ekonomi, kesehatan dan lingkungan yang rendah serta kehadiran Pengungsi
Timor Leste di wilayah tersebut.[13]
Dalam
kaitan ini, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mengolah masalah
keamanan di perbatasan, yang secara umum dapat digolongkan sebagai berikut ;
·
Secara
Eksternal, pemerintah Indonesia telah pro aktif berupaya menjalin kerjasama
dengan RDTL dalam masalahperbatasan. Salah satu hasil dari diplomasi perbatasan
ini adalah dibentuknya Joint Border Committee (JBC).
·
Secara
Internal, pandangan masa lalu yang melihat perbatasan sebagai daerah rawan yang
perlu mendapatkan pengawasan dan control yang ketat, karena menjadi tempat
persembunyian para oposan pemerintah dan pemberontak telah menjadikan
pemerintah pusat lebih mengutamakan pembangunan wilayah perbatasan dengan
pendekatan keamanan.[14]
Namun, kombinasi
pendekatan eksternal dan internal diatas ternyata tidak mudah dalam tahap
implementasinya. Prakti di lapangan justru memperlihatkan bahwa kombinasi
pendekatan ini dalam pengelolaan masalah keamanan masih jauh dari harapan. Pada
satu sisi, malalui serangkaian pembicaraan sejak tahun 2002 dalam kerangka JBC,
pemerintah RI-RDTL telah sepakat atas 907 titik koordinat dalam perjanjiaan sementara
tentang perbatasan darat antara RI-RDTL
yang ditandatangani oleh menteri luar negeri Indonesia, N. Hasan Wirayuda, dan
menteri luar negeri RDTL Jose Ramos Horta pada 8 April 2005 di Dili.[15]
Hingga
saat ini, wilayah perbatasan kedua Negara masih menghadapi berbagai
permasalahan tidak sederhana, salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh
provinsi NTT di wilayah perbatasan adalah kondisi social dan ekonomi masyarakat
yang sangat minim. Kondisi ini dapat dilihat dari angka Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), Indeks kemiskinan Manusia (IKM) dan tingkat Pendapatan Domestik
Bruno Masyarakat (PDBR).[16]
Dengan merujuk pada masih rentannya kondisi keamanan
wilayah perbatasan RI-RDTL di provinsi NTT sebagaimana dijelaskan diatas dapat
diasumsikan bahwa pendekatan yang dipakai oleh pemerintah dalam pengelolaan
masalah perbatasan belum sepenuhnya berjalan efektif dan berhasil. Ada sejumlah
permasalahan pokok yang memngaruhi ketidakberhasilan tersebut yang perlu segera
di tangani dan secara garis besar dapat di identifikasi sebagai berikut :
1.
Komitmen
Pemerintah untuk pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan
kesejahteraan di bandingkan pendekatan keamanan masih belum di jalankan secara
penuh.
2.
Masalah
koordinasi dan perbedaan konsepsi kewenangan dalam pengelolaan wilayah
perbatasann.
3.
Pengelolaan
masalah keamanan di perbatasan khusunya mengenai penyelesaian kasus batas,
semestinya tidak hanya bertumpu pada hokum internasional.
4.
Kerja
sama yang lebih luas dengan Timor Leste untuk pengelolaan masalah perbatasan
kurang mendapat perhatian.
Oleh karena itu
masalah keamanan di perbatasan adalah masalah dua Negara yang penyelasaiannya
untuk jangka pendek dan jangka panjang juga perlu keterlibatan Timor Leste.[17]
Dari pembahasan di
atas dapat di lihat bahwa ada beberapa yang menjadi latar belakang masalah
antara Indonesia Dan Timor Leste tentang keamanan perbatasan.
1.
Perbatasan
darat kedua Negara terdiri dari dua bagian. Pertama,
perbatasn di sekitar Oecusse yaitu suatu enclave yang merupakan bagian wilayah
kedaultan Timor Leste yang berada di Timor Barat (yang meruapakan wilayah RI di
NTT) dan terpisah sekitar 60 km dari wilayah induknya. Kedua, perbatasan sepanjang 149,9 km yang memelah pulau Timor
menjadi Timor Barat di Barat dan Timor Leste di bagian Timur.
2.
Di
abaikannya Human Security di perbatasan.
3.
Ketiadaan
atau keterbatasan sumber kehidupan ekonomi, kesejahteraan sosial kesehatan dan
pendidikan yang rendah pada masyarakta di perbatasan, dan juga “warga baru” di
tempat pengungsian dan resettlement,
secara potensial dapat menjadi sumber ancaman keamanan.
Adapun jalan yang
dilakukan melalui jalan diplomasi perbatasan. Tapi sayangnya hal itu tidak
berhasil karena masih banyak masalah yang ada di perbatasan belum bisa
diselesaikan melalui Negosiasi.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan yang diperoleh dari 2 buku panduan mengenai Hubungan antara RI-RDTL
dapat dikatakan bahwa pada Buku “Diplomasi antara teori dan Praktek” mengatakan
bahwa permasalahan timor leste / timor timur dianggap sebagai permasalahan
dalam negeri bukan masalah penting. Akan tetapi hal itu malah membuat Timor
Timur lepas dari pangkuan ibu pertiwi RI. Sedangkan dalam buku “Keamanan Di
Perbarbatasan RI-RDTL” merujuk pada lepasnya RDTL dari Indonesia. Walaupun
sudah lepas tapi permasalahan masih sering terjadi di perbatasan.
Dari
hal ini dapat di tarik kesimpulan bahwa dari pemerintahan orde baru sering
terjadi pelanggaran HAM di timor-Timur bahkan Negara tersebut sempat ditutup
dari dunia internasional, sehingga RTDL memutuskan keluar dan berdiri sendiri
sebagai suatu Negara yang berdaulat. Setelah lebih 24 tahun RDTL lepas dari RI,
tapi mengingat sejarah tentang peristiwa kemanusiaan disana, bahkan sampai
sekarang sering terjadi di perbatasan. Karena hal itu, pemerintah RI melakukan
Diplomasi perbatasan di RDTL khususnya Di Dili. Tapi karena saking banyaknya
pelanggaran dan dareah yang tidak mendukung sebab kemiskinan sehingga sampai
saat ini diplomasi mengenai perbatasan antara RI-RDTL masih jauh dari kata
Berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Djelantik, Sukawarsini. 2008.
Diplomasi Antara Teori dan
Praktek.Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Wuryandari,
Ganewati. 2009. Keamanan Di Perbatasan
Indonesia-Timor
Leste. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[1] Sukawarsini Djelantik. 2008. Diplomasi Antara Teori dan Praktek.
Graha Ilmu. Yogyakarta. Hal. 3.
[3] Ibid. Hal. 11.
[4] Ibid. Hal. 3-4.
[6] Ganewati Wuryandari, Cahyo
Pamungkas, Firman Noor dan Bob Sugeng Hadiwinata. 2009. Keamanan Di Perbatasan
Indonesia-Timor Leste. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 3
[7] Op.cit. Hal. 108.
[9] Ibid. Hal. 3-5.
[11] Ibid. Hal. 7-10.
[13] Ibid. Hal. 11-12.
[14] Ibid. Hal. 14
[15] Ibid. Hal. 16.
[17] Ibid. Hal. 21-22.